MEDIA LABORAN JURNAL ANALIS KESEHATAN UNIVERSITAS INDONESIA TIMUR
ANALISIS KADAR TIMBAL ( Pb ) PADA IKAN CAKALANG YANG DIPERJUALBELIKAN PADA TEMPAT PELELANGAN IKAN PAOTERE KOTA MAKASSAR
HASAN
ABSTRACT
Fish as one of the aquatic biota can be used as an indicator of the level of contamination that occurred in the waters. The process of transfer of heavy metals from sea water into the body of the fish is very likely to occur, which in turn would be bad for the fish and the humans who consume them. This study aims to identify and determine the levels of heavy metal lead ( Pb ) that tuna fish sold in fish markets in the city of Makassar Paotere with laboratory analysis technique using a sample of the organoleptic meat tuna. Analysis has been carried out in a sample of heavy metals Pb tuna with atomic absorption spectrometry method ( AAS ). Preparation of early footage made with fish washed, meat, dried, pulverized and sieved to 100 mesh escape, diluted with Teflon bomb digestion technique to obtain a solution of footage that is ready to be analyzed. Parameter analysis with AAS analysis includes optimum conditions , the calibration curve elements, the concentration range used, the feasibility of test equipment and test method validation. The results of the study lead levels in 10 samples of tuna meat found to contain lead levels that varied between 0.006 to 0.0486 mg / kg , according to the Indonesian National Standard ( SNI ) 7387:2009 maksimum limit heavy metal contamination of lead in food of 0.4 mg / kg. Based on the research results, which are tuna fish auction in the city of Makassar Paotere containing lead with lead level is below the threshold set ISO 7387:2009, so it is advisable to consider the quality of the people to keep fish before consuming as well as to the relevant government agencies to conduct supervision in the framework of enhancing the sustainability of the underwater world .
Keywords : Heavy Metal Lead ( Pb ) , Skipjack , AAS method .
A. PENDAHULUAN
Lingkungan Hidup merupakan anugerah Tuhan Yang Maha Esa wajib dilestarikan dan dikembangkan kemampuan agar tetap dapat menjadi sumber penunjang hidup bagi manusia dan makhluk hidup lainnya demi kelangsungan dan peningkatan kualitas hidup itu sendiri.
Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia (archipelagic state). Tiga perempat dari luas wilayah Indonesia atau sekitar 5.8 juta km² berupa laut. Garis pantai Indonesia 81.000 km atau terbesar kedua di dunia. Potensi lestari atau maximum sustainable yield ikan laut seluruhnya 6.4 juta ton pertahun atau sekitar 7% dari total potensi lestari ikan laut di dunia, namun baru sekitar 58.5% yang dimanfaatkan, hasil perikanan laut Indonesia pada tahun 2005 mencapai 5.1 juta ton (63% dari potensi lestari), sedangkan pada tahun 2009, produksi ikan secara nasional mencapai 5.870.010 ton. Bidang kelautan dan perikanan menyumbang 65% dari kebutuhan protein masyarakat 60% diantaranya adalah hewan tangkapan (Anonim, 2010).
Provinsi Sulawesi Selatan yang beribukota Makassar terletak 0o12’-8o LS dan diantara 116 48’-112o36’ BT dengan luas wilayah sekitar 45.764,53 Km2, panjang garis pantai 1.937 Km. Jumlah penduduk Sulawesi selatan tahun 2011 tercatat sebanyak 8.115.638 jiwa atau meningkat 1 % dari tahun 2010. Diantara jumlah penduduk tersebut terdapat tenaga kerja yang mengelola sumber daya kelautan dan perikanan (nelayan dan pembudidaya) sebanyak 582.484 jiwa atau sebesar 7,2 %. Komposisi tenaga kerja sektor Kelautan dan Perikanan di sulawesi selatan tercatat jumlah nelayan sebanyak 196.272 orang atau 33,6 %dan pembudidaya sebanyak 386.212 orang atau 66,4 %.
Lingkungan perairan, khususnya lautan Indonesia bagian timur memiliki berbagai macam jasa lingkungan yang sangat potensial bagi kepentingan pembangunan. Program revitalisasi perikanan yang tujuannya diarahkan untuk mempercepat peningkatan, produktifitas dan produksi serta kualitas hasil perikanan sehingga dapat memberikan kontribusi yang sebesar-besarnya guna menanggulangi permasalahan nasional, yaitu pengurangan kemiskinan (propoor), peningkatan tenaga kerja (projob) dan peningkatan pertumbuhan ekonomi (progrowth). untuk hal tersebut ditetapkan tiga komoditi yang diunggulkan untuk ditingkatkan produktifitas / produksi dan kualitasnya yaitu udang, rumput laut, dan cakalang (Dinas Kelautan dan Perikanan Prov. SULSEL, 2011). Dari sudut pandang pembangunan, berkelanjutan, pengelolaan sumber daya pesisir dan lautan di Indonesia dihadapkan pada persimpangan jalan. Disatu pihak masih banyak kawasan pesisir dan lautan Indonesia yang tingkat pemanfaatanya belum optimal atau bahkan belum terjamah sama sekali. Dilain pihak terdapat kawasan yang telah dimanfaatkan (dikembangkan) dengan intensif sehingga indikasi terlampauinya daya dukung atau kapasitas berkelanjutan (potensi lestari) dari ekosistem pesisir dan lautan seperti: pencemaran, tangkapan berlebih (overfishing), degradasi fisik habitat pesisir dan abrasi pantai. Fenomena ini telah dan masih berlangsung, terutama dikawasan pesisir yang padat penduduknya dan tinggi tingkat pembangunan (Dahuri dkk, 1996 dalam arlini 2001).
Pencemaran kawasan laut indonesia dapat berasal dari limbah yang dibuang akibat aktifitas manusia, industri dan kegiatan transportasi. Kegiatan-kegaitan ini berpotensi menimbulkan pencemaran yang menyebabkan terjadinya perubahan fisika kimia air laut termasuk peningkatan kadar logam berat. Pencemaran logam berat merupakan permasalahan yang serius untuk ditangani, karena merugikan lingkungan dan ekosistem secara umum. Sejak kasus merkuri di minamata jepang 1953, pencemaran logam berat semakin sering terjadi dan semakin banyak dilaporkan. Agen lingkungan Amerika Serikat (EPA) melaporkan, terdapat 13 elemen logam berat yang diketahui berbahaya bagi lingkungan, di antaranya Arsenik (As), Timbal (Pb), Merkuri (Hg) dan Kadmium Cd) (Mursyidin, 2006). Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar (Surah Arrum : 41).
Bahan pencemaran ini jika berada diatas ambang batas dalam suatu perairan dapat menimbulkan ketidakseimbangan ekologis. Secara alami logam Pb dapat masuk kebadan perairan melalui pengkristalan logam Pb diudara dengan bantuan air hujan. Selain itu proses korosifikasi batuan mineral akibat hempasan gelombang dan angin, merupakan salah satu jalur sumber logam Pb yang masuk ke dalam badan perairan (Palar, 2008).
Pencemaran lingkungan kadang-kadang tampak jelas pada kita seperti timbunan sampah dipasar-pasar, pen-dangkalan sungai yang penuh kotoran, ataupun sesak napas karena asap knalpot ataupun cerobong asap pabrik. Setiap pencemaran berasal dari satu sumber tertentu, sumber ini penting, karena merupakan pilihan pertama untuk melenyapkan pencemaran itu. Setelah pencemaran ini dibebaskan oleh sumber kemudian sampai kepada penerima. Penerima ini yang dipengaruhi oleh pencemar. Manusia menjadi penerima pencemar gas yang dikeluarkan oleh pabrik. Ikan menjadi penerima pencemar deterjen atau racun yang masuk kedalam perairan. Kadang-kadang racun itu mengendap dan tinggal lama di dalam dasar perairan (Sastrawijaya, 2009).
Pencemaran atas laut atau Marine Pollution merupakan salah satu masalah yang mengancam bumi saat ini, pencemaran atas laut terus dibicarakan dalam konteks perbaikan lingkungan hidup internasional. Perlindungan laut terhadap pencemaran adalah merupakan upaya melestarikan warisan alam. Melestarikan warisan alam adalah memberikan prioritas pada nilai selain ekonomis: nilai keindahan alam, nilai penghormatan akan apa yang ada yang tidak diciptakan sendiri, dan lebih dari itu, nilai dari kehidupan itu sendiri, sebuah fenomena yang bahkan sekarang ini dengan kemampuan akal budi manusia tidak mampu dijelaskan.
Menurut GESAMP (The Joint Group of Expert on Scienytific Aspect of Marine Pollutan) zat-zat pencemar itu dapat diklassifikasikan sebagai berikut: (1) halogenated hydrocarbons termasuk PCBs (Polychlorinated) dan peptisida seperti DDT; (2) minyak bumi dan bahan-bahan yang dibuat dari minyak bumi (derivatives); (3) zat kimia organik seperti biotoksin laut (marine biotoxine), deterjen (detergents); (4) pupuk buatan (kimia) maupun alami termasuk yang terdapat dalam kotoran dan yang berasal dari bahan pertanian; (5) zat kimia an-organik terutama logam berat merkuri dan timah hitam (lead); (6) benda-benda padat (sampah) baik organik maupun an-organik; (7) zat-zat radioaktif dan (8) buangan (air) panas (themal waste). Disisi lain pencemaran laut adalah perubahan dilingkungan laut yang terjadi akibat dimasukannya oleh manusia secara langsung ataupun tidak bahan-bahan atau energi kedalam lingkungan laut yang menghasilkan akibat yang demikian buruknya sehingga merupakan kerugian terhadap kekayaan hayati, bahaya terhadap kesehatan manusia, gangguan terhadap kegiatan di laut termasuk perikanan dan lain-lain penggunaan laut yang wajar, pemburukan dari pada kualitas air laut dan menurunnya tempat-tempat permukiman dan rekreasi (Kusumaatmadja, 1987).
Pembuangan bahan kimia, limbah, maupun pencemaran lain kedalam air akan mempengaruhi kehidupan dalam air itu. Suatu pencemaran dalam suatu ekosisitem mungkin cukup banyak, sehingga akan meracuni semua organisme yang ada disana. Biasanya suatu pencemaran cukup banyak untuk membunuh spesies lainnya. Sebaliknya ada kemungkinan bahwa suatu pencemaran justru dapat mendukung perkembangan spesies tertentu. Jadi bila air tercemar, ada kemungkinan pergeseran-pergeseran dan jumlah spesies yang banyak dengan ukuran yang sedang populasinya, kepada jumlah spesies yang sedikit tetapi berpopulasi yang tinggi. Penurunan dalam keanekaragaman spesies dapat juga dianggap sebagai suatu tanda ada pencemaran Spesies yang ada dalam kepadatan yang tinggi dinamakan spesies indeks atau organisme indikator populasi. Jika spesies itu sama sekali tidak ada, maka derajat populasi lebih tinggi. Ikan dijadikan sebagai indikator populasi pencemaran (sastrawijaya, 2009).
Pencemaran laut oleh logam berat bukan lagi merupakan masalah baru yang mengancam kesejahteraan hidup manusia. Pandangan bahwa laut sebagai tempat yang layak untuk pembuangan limbah yang dihasilkan oleh manusia, dengan anggapan bahwa volume lautan didunia ini sangat luas yang mempunyai kemampuan tidak terbatas untuk menyerap segala sesuatu yang dibuang kedalamnya baik sengaja ataupun tidak disengaja (Nyibakken, 1992).
Dalam undang - undang lingkungan hidup dijelaskan bahwa suatu tatanan lingkungan hidup dikatakan tercemar apabila ke dalam tatanan lingkungan hidup itu masuk atau dimasukan suatu benda lain yang kemudian memberikan pengaruh buruk terhadap bagian-bagian yang menyusun tatanan lingkungan hidup itu sendiri, sehingga tidak lagi dapat hidup sesuai aslinya. Pada tingkat lanjutnya bahkan dapat menghapuskan satu atau lebih mata rantai dalam tatanan tersebut. Sedangkan suatu pencemaran atau polutan adalah setiap benda, zat ataupun organisme hidup yang masuk kedalam tatanan alami dan kemudian mendatangkan perubahan-perubahan yang bersifat negatife terhadap tatanan yang dimasukinya.
Berdasarkan Undang-undang .No.23 Tahun1997, disebutkan bahwa pencemaran lingkungan hidup sebagai suatu peristiwa masuknya makhluk hidup, zat, energi, atau komponen lain kedalam lingkungan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau oleh proses alam, sehingga kualitas lingkungan menjadi kurang dapat berfungsi sesuai dengan peruntukannya.
Keberadaan zat pencemar dalam perairan akan mempengaruhi makhluk hidup yang ada di dalamnya. Masuknya zat pencemar ke dalam tubuh biota air dapat melalui saluran pernapasan dan saluran pencernaan (Saeni, 1989).
Melalui proses rantai makanan, memungkinkan perpindahan zat pencemar dalam hal ini logam berat, dari suatu makhluk hidup ke makhluk hidup lain yang mengkonsumsinya. Keadaan ini bila dibiarkan terus menerus tentunya dapat menimbulkan kasus pencemaran logam berat.
Ikan sebagai salah satu biota air dapat dijadikan sebagai salah satu indikator tingkat pencemaran yang terjadi di dalam perairan. Jika didalam tubuh ikan telah terkandung kadar logam berat yang tinggi dan melebihi batas normal yang telah ditentukan dapat sebagai indikator terjadinya suatu pencemaran dalam lingkungan. Kandungan logam berat dalam ikan erat kaitannya dengan pembuangan limbah industri di sekitar tempat hidup ikan tersebut, seperti sungai, danau, dan laut. Banyaknya logam berat yang terserap dan terdistribusi pada ikan bergantung pada bentuk senyawa dan konsentrasi polutan, aktivitas mikroorganisme, tekstur sedimen, serta jenis dan unsur ikan yang hidup di lingkungan tersebut.
B. METODE DAN BAHAN
Desain penelitian ini adalah deskriptif yaitu penggambaran dari data penelitian secara kuantitatif untuk menganalisa kadar timbal pada ikan cakalang dan dilakukan dengan teknik analisa laboratorik (Kountur, 2003). Penelitian ini dilakukan di Balai Pembinaan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP).Penelitian ini dilakukan pada pada tanggal 20 April – 27 Mei 2013. Populasi dalam penelitian ini adalah Ikan cakalang yang ada di Tempat Pelelangan Ikan Paotere Kota Makassar. Sampel berupa ikan cakalang yang diambil pada Tempat Pelelangan Ikan Paotere, cara pengambilan sampel dilakukan dengan teknik Judment, yaitu cara pengambilan sampel dengan kebijaksanaan sendiri pada tempat yang dianggap representatif (sesuai). Kemudian disimpan dalam termos yang bersuhu 00C selanjutnya dibawa ke Balai Pembinaan Pengujian Mutu Hasil Perikanan (BPPMHP). Sampel penelitian ini adalah daging ikan cakalang sebanyak 10 sampel yang diambil dari Tempat Pelelangan Ikan Paotere Kota Makassar. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan metode pemeriksaan Spektrofotometer Serapan Atom sesuai dengan Standar Nasional Indonesia 01-2354.7-2006.
BAHAN
1. Tahap pengeringan produk basah
a. Beri label pada cawan petri, tutp separuh dari cawan petri dengan aluminium foil untuk mengurangi kontaminasi dari debu selama pengeringan, selanjutnya masukan dalam oven pada suhu 103oC + selama 2 jam.
b. Setelah kering pindahkan cawan petri ke dalam deksikator selama 30 menit, kemudian lakukan penimbangan dan catat (A).
c. Masukkan contoh basah kedalam cawan petri dan ratakan menggunakan sendok plastik, kemudian timbang berat contoh basah dan cawan petri (B).
d. Tutup cawan petri dengan aluminium foil dan keringkan dalam oven selama selama selama pada suhu 103oC + 1o C selam 2 jam
e. Setelah contoh menjadi kering, dinginkan dalam desikator selama 30 menit. Lakukan penimbangan dan hitung kadar air (C).
f. Contoh yang telah ditetapkan kadar airnya, diblender sampai halus dan simpan contoh didalam botol polypropylene.
2. Tahap digesti dan pembacaan pada AAS
a. Siapkan cawan porselin bertutup dan buka separuh permukaannya untuk meminimalkan kontaminasi dari debu selama pengeringan. Keringkan didalam oven pada suhu 103oC + 1oC selama 2 jam
b. Setelah kering dinginkan cawan dalam deksikator selama 30 menit, kemudian lakukan penimbangan dan catat
c. Timbang produk basah yang keringkan (butir 7.1.6) sebanyak 0,5 gram dan catat(Wd) atau produk kering (butir 6.1) sebanyak 0,5 gram dan catat (W).
d. Untuk kontrol positif (spiked), tambahkan 0,25 ml larutan standar timbal 1 mg/l ke dalam contoh sebelum dimasukan ke tungku pengabuan.
e. Uapkan spiked diatas Hot plate sampai kering pada suhu 100oC
f. Masukan contoh dan spiked ke dalam tungku pengabuan dan tutup separuh permukaannya. Naikkan suhu tungku pengabuan secara bertahap 100oC setiap 30 menit sampai mencapai 450oC dan pertahankan selama 18 jam
g. Keluarkan contoh dan spiked dari tungku pengabuan dan dinginkan pada suhu kamar. Setelah dinginkan tambahkan 1 ml HNO3 65%, goyangkan secara berhati-hati sehingga semua abu terlarut dalam asam dan selanjutnya uapkan diatas Hot plate pada suhu 100oC.
h. sampai kering.
i. Setelah kering masukan kembali contoh dan spiked ke dalam tungku pengabuan. Naikkan suhu secara bertahap 100oC setiap 30 menit sampai mencapai suhu 450oC dan pertahanka selama 3 jam
j. Setelah abu terbentuk sempurna berwarna putih, dinginkan contoh dan spiked pada suhu rungan. Tambahkan 5 ml HCl 6 M kedalam masing-masing contoh dan spiked, goyangkan secara berhati-hati sehingga semua abu larut dalam asam. Uapkan di atas Hot Plate pada suhu 100oC sampai kering.
k. Tambahkan 10 ml HNO3 0,1 M dan dinginkan oada suhu ruangan selama 1 jam, pindahkan larutan kedalam labu takar 50 ml (polypropylene). Tepatkan sampai tanda batas dengan menggunakan HNO3 0,1 M.
l. Siapka larutan standar minimal 3 (tiga) titik kadar (5 ug/l, 10 ug/l dan 20 ug/l).
m. Baca larutan standar, contoh dan spiked pada alatr spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 228,8 nm dengan graphite furnace
n. Tentukan kadar contoh berdasarkan kurva kalibrasi.
C. HASIL PENELITIAN
Pengukuran kandungan timbal dalam daging ikan cakalang dilakukan pada semua perlakuan dan kontrol pada awal dan akhir penelitian yang dilakukan mulai tanggal 27 April – 20 Mei 2013 di Balai Pembinaan dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan dengan menggunakan metode AAS (Atomic Absorption Spectrophotometry). Hasil pengukuran timbal dalam daging ikan cakalang dapat dilihat pada tabel 1.1
Tabel 1.1 Hasil Penelitian Analisis Kadar Timbal Pada Ikan Cakalang.
Kode abs cth abs blk vol.akhir gr cth Hasil
04091993 A 3,048 0,030 50 5,0025 0,0302
04091993 B 1,906 0,030 50 5,0221 0,0187
04091993 C 2,855 0,030 50 5,0104 0,0282
04091993 D 2,008 0,030 50 5,0087 0,0197
04091993 E 1,834 0,030 50 5,0301 0,0179
19930904 F 0,698 0,030 50 5,0101 0,0067
19930904 G 3,578 0,030 50 5,0899 0,0349
19930904 H 2,303 0,030 50 5,0211 0,0226
19930904 I 4,9 0,030 50 5,0085 0,0486
19930904 J 2,943 0,030 50 5,0263 0,0290
Berdasarkan tabel 1.1. kandungan kadar timbal pada ikan cakalang yang telah diuji dengan menggunakan Spektefotometer Serapan Atom metode AAS dengan panjang gelombang 283,3 nm dengan batas deteksi terendah (LOD) 0,0052 mg/kg, didapatkan kadar timbal terendah pada kode sampel 19930904 F sekitar 0,0067 mg/kg dan tertinggi 0,0486 mg/kg pada kode sampel 19930904 I. . Pada awal perlakuan, rerata kandungan timbal pada daging ikan cakalang 0,02568 mg/kg, hal ini menunjukkan bahwa kandungan logam berat dalam ikan cakalang mengandung timbal dengan kadar timbal bervariatif.
Pada perlakuan dibuat blanko pada konsntrasi 0, calibrasi standar 1 dibuat dengan konsentrasi 2,0 ppm, calibrasi standar 2 dengan konsentrasi 4,0 ppm, kalibrasi standar 3 konsentrasi 8 ppm, kalibrasi standar 4 konsentrasi 10,0 ppm, calibrasi 5 konsentrasi 20,0 ppm dan kontrol positif atau spike.
D. PEMBAHASAN
Timbal dalam keseharian lebih dikenal timah hitam, dalam bahasa ilmiahnya dinamankan plumbum, dan logam ini disimbolkan dengan Pb. Timbal merupakan kandungan logam berat yang memiliki sifat toksit yang tinggi. Logam ini berasal dari buangan industri baja/metal dan juga berasal dari korosi yang terjadi. Logam ini termasuk dalam kelompok logam golongan IV-A pada tabel periodik unsur kimia mempunyai nomor atom (NA) 82 dengan bobot atau berat atom (BA) 207,2. Penyebaran Pb di bumi sangat sedikit yaitu 0,0002% dari seluruh lapisan bumi. Keberadaan logam- logam dalam badan perairan dapat berasal dari sumber alamiah dan sebagi dampak dari aktifitas manusia. Sumber alamiah masuk ke dalam perairan biasa dari pengikisan batuan mineral. Di samping itu partikel logam yang ada di udara, karena adanya bantuan hujan dapat menjadi sumber logam dalam perairan.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Sampel daging ikan cakalang yang diperjualbelikan pada tempat pelelangan ikan paotere kota makassar mengandung timbal.
2. Kandungan kadar timbal pada daging ikan cakalang bervariasi antara 0,0067 mg/kg sampai 0,0486 mg/kg. Pada 10 sampel penelitian dibagi menjadi 2 tempat pengambilan sampel, masing masing tempat A sebanyak 5 sampel dan tempat B sebanyak 5 sampel dengan rerata perolehan kandungan kadar timbal 0,02294 mg/kg sedangkan pada tempat B kandungan kadar timbal rerata 0,02836 mg/kg. Disarankan Kepada masyarakat untuk memperhatikan serta mempertimbangkan kualitas ikan tuna khususnya cakalang sebelum mengkonsumsi. Ditujukan kepada pemerintah khususnya Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan untuk tetap melakukan usaha pengawasan dalam rangka menjaga kelestarian biota laut serta pengawasan pendistribusian komoditi ikan cakalang dipasaran yag tidak memenuhi Standar Nasional Indonesia. Bagi peneliti selanjutnya disarankan untuk meneliti kadar timbal pada masyarakat di kota makassar.
DAFTAR RUJUKAN
Anonim, 2010. Manusia dan Air, dalam Kependudukan dan Lingkungan Hidup Suatu Tinjauan. Jakarta: Kantor Menteri Negara kependudukan dan Lingkungan Hidup.
Arlini, E. 2001. Analisis Kandungan Logam Berat Timbal (Pb) Pada Air Laut di Sekitar Kawasan Reklamasi Pantai Losari Kotamadya Makassar [Sripsi]. Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin. Makassar.
Connell, D.W. dan G.J. Miller. 1995. Kimia dan Ekotoksikologi Pencemaran. Diterjemahkan oleh Yanti Koestoer. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Darmono, 1995. Logam Dan Sistem Biologi Mahluk Hidup. UI Press. Jakarta.
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Makassar, Pangkalan Pendaratan Ikan Potere. 2011. Laporan Tinjauan Hasil Kegiatan Operasional Pangkalan Pendaratan Ikan Paotere Makassar. Makassar.
Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Selatan. Laporan Tahunan 2009, 2010 dan 2011. Makassar.
Gafa, B., T. Sufendrata dan J.C.B. Uktolseja. 1987. Penandaan Ikan Cakalang dan Madidihang di Sekitar Rumpon Teluk Tomini - Sulawesi Utara. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No. 43 Tahun 1987. Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta. P. : 67-74.
Graef, JW (1997) Foreword in getting the lead out the complete resource on how to prevent and cope with lead poisoning, by Kessel and O’Connnor Plenum Trade, New York, www.questia.com/library/book/getting-the-lead-out-the-complete-resource-on how-to-preventand- cope-with-lead-poisoning-by-irene-kessel-john-t-oconnor.jsp [ONLINE BOOK]
Hanis, 2004. Pendugaan parameter dinamika populasi ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) di perairan Selayar bagian Timur. Skripsi Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan UnHas, Makassar. 57 p
Hutagalung, H.P. 1984. Logam Berat Dalam Lingkungan Laut. Pewarta Oceana IX No. 1. Hal 12-19.
Kountur, R. 2003. Metode Penelitian Untuk Penulisan KTI, Skripsi dan Tesis. Jakarta: Penerbit PPM.
Kementrian Lingkungan Hidup, 2004. UU No 19 tahun 1999, Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. Jakarta, ,
Misran, E. 2002. Aplikasi Teknologi Berbasiskan Membran dalam Bidang Bioteknologi Kelautan: Pengendalian Pencemaran [online]. http://www.sumutprov.go.id/mcrm/teks/RestraPesisirSU.pdf [diakses [12 Januari 2013].
Mursyidin, D H. 2006. Penaggulangan Pencemaran Logam Berat [online]. http://www.ychi.org/indeks.php?option=comcontent&task=view&id=73&itemid=39 [diakses 12 januari 2013.
Kessel, Irene and O’Connor, John T. (1997) Getting the Lead out: The Complete Resource on How to Prevent and Cope with Lead Poisoning, Published by Plenum Trade, New York, www.questia.com/library/book/getting-the-lead-out-the-complete-resource-on-how-to-preventand- cope-with-lead-poisoning-by-irene-kessel-john-t oconnor.jsp [ONLINE BOOK]
Kusumaatmadja. 1987. Hukum Laut. Binacipta. Jakarta.
Matsumoto, W.M., Skilman, R.A. & Dizon, A.E. 1984. Synopsis of biological data on skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis). NOAA Techical Report NMFS Circular No. 451 dan FAO Fihsries Synopsis No 136. Diterjemahkan oleh Fedi A. Sondita, 1999. Jurusan Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, IPB. Bogor.
Nikijuluw, Victor P.H. 2001. Rezim Pengelolaan Sumber Daya Perikanan. PT. Pustaka Cisendo, Jakarta.
Nyibakken, J. W. 1992. Biota Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Gramedia, Jakarta.
Palar, H. 2008. Pencemaran Dan Toksikologi Logam Berat. Rineka Cipta. Jakarta.
Razak, A. 1980. Dinamika Karakteristik Fisika-Kimia Sedimen Dan Hubungannya Dengan Struktur Komunitas Moluska Bentik (Bivalve Dan Gastropoda Di Muara Bandar Bakali Padang. IPB.
Romimoharto, K. 1991. Pengantar Pemantauan Pencemaran Laut. P3O-LIPI. Jakarta.
Saeni, 1989. Kimia Lingkungan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Species Katsuwonus pelamis Linnaeus. 1758. http://fishbase.org. (Diaksees 12 januari 2013).
Sastrawiyaja, T.A. 2009. Pencemaran Lingkungan. Rineka Cipta. Jakarta.
Widodo, J., I Gede S.M., dan Subhat N. 1988. Sumberdaya Potensi dan Penyebaran Sumberdaya Ikan Laut di Perairan Indonesia. Komisi Nasional Pengkajian Stok Sumberdaya Ikan Laut - LIPI. Jakarta.
WHO (World Health Organisation) (2007) Lead exposure in children www.who.int/phe/news/Lead_in_Toys_note_060807.pdf
WHO HECA (World Health Organization Healthy Environments for Children Alliance) (undated, mentions 2002 so must be post-2002) (a) www.who.int/heca/infomaterials/lead.pdf
Komentar
Posting Komentar