Jurnal Media Laboran Edisi khusus Vol. 5 Mei 2016
IDENTIFIKASI
BAKTERI Escherichia Coli PADA SISA
PARUTAN KELAPA YANG ADA PADA MESIN PARUT DI PASAR HARTACO
MAKASSAR
ANDI
INDRAWATI
ABSTRACT
This research was motivated by the
process along with the grated coconut development times are also becoming more sophisticated.
The emergence of various kinds of machines with a variety of different brands
and types help people to do the grater which only requires a relatively short
time. Given the lack of information about the technology pemarutan coconut
hygiene and sanitation equipment used and the washing process coconut less
attention in Makassar Hartaco market that can cause various diseases, one of
which is diarrhea. Of 5 samples tested research using selective medium (Endo
Agar). Medium differentiation (KIA), Medium biochemical (IMViC), and medium
confectionery, result / data as much as 5 samples are negative, which means
there are Escherichia coli in the rest of the grated coconut. Based on the
research results suggested to employers grated coconut grated coconut before
should pay attention to hygiene equipment and water used must be clean running
water for washing and coconut.
Keywords : Escherichia coli, the
remaining grated coconut
PENDAHULUAN
Makanan dan minuman yang dikonsumsi pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan
kehidupan manusia, yaitu sebagai sumber energi dan pertumbuhan serta mengganti
jaringan atau sel tubuh yang rusak. Makanan yang disukai oleh manusia pada
umumnya juga disukai oleh mikroorganisme. Dengan demikian maka mikroorganisme
itu dasarnya merupakan saingan bagi manusia (Dwidjoseputro, 2005).
Kondisi mikrobiologis dari makanan dan minuman menentukan
keamanan dan daya tahan makanan dan minuman yang bersangkutan. Beberapa bakteri
dapat menimbulkan keracunan makanan tetapi jumlah bakteri yang mampu
menimbulkan kerusakan tergantung pada kepekaan
individu dan virulensi mikroorganisme tersebut serta kombinasi makanan
itu sendiri. Adanya mikroorganisme dalam makanan dan minuman dapat
merusak makanan dan minuman mengubah komposisi bahan makanan dan minuman
diantaranya dapat menhidrolisa pati dan selulosa atau menyebabkan fermentasi
gula, sedangkan yang lainnya dapat mendegradasi protein dan menhasilkan bau
busuk dan amoniak, ada beberapa mikroorganisme dapat membentuk lendir, gas,
busa, warna, asam, racun, dan lain-lain sebagainya.
Kalau makanan dan minuman terkontaminasi,
mikroorganisme secara spontan dari udara, maka akan terdapat pertumbuhan
campuran beberapa macam mikroorganisme. Kontaminasi tersebut dapat terjadi
sejak pengolahan bahan baku, pemrosesan bahan, peralatan, pengemasan, karyawan,
air yang digunakan dan jenis wadah, atau kemasan yang digunakan (Natsir, 2004).
Makanan yang telah dihinggapi mikroorganisme
itu mengalami penguraian, sehingga dapat berkurangnya nilai gizi dan
kelezatannya, bahkan makanan yang telah terurai dapat menyebabkan sakit bahkan
mati bagi orang yang mengkonsumsinya (Dwidjoseputro, 2005).
Diare adalah keluarnya tinja lebih dari 500
ml/hari. Kejadian ini disebabkan oleh kemampuan penyerapan oleh kolon yang
tidak mencukupi, dibandingkan dengan cairan yang datang dari usus halus atau
dapat juga karena kurangnya kemampuan penyerapan kolon. Infeksi merupakan penyebab utama diare akut,
baik oleh Bakteri, Parasit maupun Virus. Penyebab lain yang dapat menimbulkan
diare akut adalah toksin dan obat. Dalam penelitian didapatkan hasil isolasi
dengan Escherichia coli (38,29%)
(Mansjoer dkk, 2001).
Seiring dengan berkembangnya zaman proses pemarutan
kelapa juga semakin canggih. Munculnya berbagai macam mesin dengan berbagai
merek dan type yang berbeda sangat membantu masyarakat untuk melakukan
pemarutan yang hanya membutuhkan waktu yang relatif singkat. Mengingat masih
minimnya informasi tentang teknologi pemarutan kelapa yang higienis serta
sanitasi peralatan yang digunakan dan proses pencucian kelapa kurang
diperhatikan di Pasar Hartaco sehingga dapat menimbulkan berbagai macam
penyakit, salah satunya adalah diare.
METODE
DAN BAHAN
Jenis penelitian ini merupakan penelitian observasional laboratorik berupa proses
isolasi dan identifikasi secara bakteriologis untuk mengetahui keberadaan Escherichia coli sebagai bakteri
kontaminan pada sisa parutan kelapa yang yang pada pada mesin parut di Pasar
Hartaco Makassar. penelitian ini
dilakukan di Laboratorium DIII Analis Kesehatan Universitas Indonesia Timur
Makassar pada tanggal 10 – 17 Juni 2016, yang diambil dari 5 Sisa parutan
kelapa yang terdapat pada mesin parut kelapa di pasar Hartaco Makassar. sampel tersebut diambil dengan menggunakan teknik judgment, yaitu cara
pengambilan sampel dengan kebijaksanaan sendiri pada tempat yang dianggap
representative (sesuai). kemudian disimpan dalam wadah yang bersih dan steril,
selanjutnya dibawah ke Laboratorium DIII Analis Kesehatan Universitas Indonesia
Timur untuk dilakukan pengujian secara Laboratorik.
1.
Cara Isolasi
a. Hari
pertama
Masing-masing sampel penelitian ( perasan
sisa parutan kelapa) di tanam pada medium pemupuk (Escherichia coli Broth 10%) dengan perbandingan 1 : 9, lalu
diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam. Ciri-ciri adanya
pertumbuhan pada medium pemupuk adalah apabila pada medium ini terjadi
kekeruhan.
b. Hari
kedua
E. coli Broth dikeluarkan dari incubator
dipindahkan/ditanam pada medium selektif (EMB Agar) dan ikubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Karakteristik koloni pada medium selektif (EMB Agar/Endo Agar),
yaitu :
Warna koloni :
merah metalik, mengkilat
Permukaan koloni : cekung
Pinggir koloni : bulat rata
Ukuran koloni :
sedang sampai besar
c. Hari
ketiga
Medium EMB Agar dikeluarkan dari incubator
koloni yang tersangka kemudian dibuat pewarnaan gram. Koloni yang sama kemudian
dipindahkan pada medium KIA (Kligler Iron Agar), diinkubasi pada suhu 37oC
selama 24 jam. Di samping itu dilakukan pewarnaan gram hasil yang akan diamati
pada medium KIA, yaitu :
Lereng :
Kuning (ACID)
Dasar :
Kuning (ACID)
Gas :
Positif
H2S : Negatif
d. Hari
keempat
Dari medium KIA (Kligler Iron Agar),
dikeluarkan dari incubator dan selanjutnya dipindahkan kemedium biokimia (SIM,
MR, VP, Citrat (IMVIC) lalu diinkubasi pada suhu 37oC selama 24 jam
indol ditetesi reagens covacs, positif akan berwarna merah dan negative tidak
terjadi perubahan warna. Pada Methyl Red, Positif akan berwarna merah dan
negative tidak terjadi perubahan warna kuning. Voges prouskaver (VP) di tetesi
dengan reagens VP (KOH 4 tetes + Alpha Napthol 5% 12 tetes) positif akan
berwarna merah setelah 15 menit dan negative tidak terjadi perubahan warna.
Pada medium citrate dilihat perubahan medium, positif medium berubah menjadi
warna biru, negatif bila tidak terjadi perubahan warna.
e. Pewarnaan
gram
Dibuat preparat dari koloni pada medium,
selanjutnya dikeringkan dan dilakukan fiksasi preparat diletakkan pada rak
pewarnaan dan lalu ditetesi zat pewarna carbol gentian violet selama 3 menit,
selanjutnya zat warna di buang dan ditetesi dengan larutan lugol selama 1 menit
lalu dicuci dengan alcohol 96% selama 1 menit untuk preparat dicuci dengan air
sampai bersih lalu ditetesi dengan zat warna water fuchsine selama 1 menit
selanjutnya dibilas dengan air, setelah itu dikeringkan dan diperiksa dibawah
mikroskop dengan 2 jenis bakteri yakni bakteri gram positif dan gram negative.
Jika dia basil gram negative akan berwarna merah dan jika dia basil gram
positif akan berwarna ungu.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Identifikasi Escherichia
coli pada sisa parutan kelapa yang terdapat pada mesin parut yang di Pasar
Hartaco Makassar dilakukan mulai tanggal 10-17 Juni 2016 di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar. Sampel penelitian diuji secara bakteriologis
denngan menggunakan metode isolasi dan identifikasi untuk
mengetahui keberadaan Escherichia coli pada
sisa parutan kelapa yang ada pada mesin parut di Pasar Hartaco Makassar, dan
hasil yang diperoleh sebagai berikut :
Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan laboratorium
Terhadap sisa parutan kelapa yang ada pada mesin parut di Pasar Hartaco Makassar.
No
|
Kode Sampel
|
Hasil
|
Keterangan
|
1
|
A
|
Negatif
|
-
|
2
|
B
|
Negatif
|
Entarobacter Sp
|
3
|
C
|
Negatif
|
-
|
4
|
D
|
Negatif
|
Entarobacter Sp
|
5
|
E
|
Negatif
|
Citrobacter Sp
|
Sumber : Data Primer, Juni 2016
Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh bahwa
jumlah sampel yang diteliti yakni 5 sampel sisa parutan kelapa yang ada pada
mesin parut di pasar Hartaco Makassar, tiga dari lima sampel tesebut Negatif
atau tidak teridentifikasi adanya bakteri Escherichia
coli tetapi mengandung bakteri dengan spesies
Entarobacter dan spesies Citobacter.
PEMBAHASAN
Penelitian ini bersifat deskriptif yang
secara umum bertujuan untuk membuktikan secara sistematik, aktual dan akurat
dari suatu populasi tentang keberadaan faktor penentu untuk menjawab suatu
permasalahan penelitian yang dalam penelitian ini adalah keberadaan Escherichia coli pada sisa parutan kelapa yan ada pada mesin parut di pasar
Hartaco Makassar. Melalui uji labaratorium dengan mengguakan metode isolasi
dan identiikasi secara bakteriologis terhadap sisa parutan kelapa yang ada pada
mesin parut di pasar Hartaco Makassar untuk mengetehui keberadaan Escherichia coli, data hasil penelitian
menunjukan tidak terdapat Escherichia
coli.
Pada proses isolasi dan identifikasi secara
bakteriologis dimulai dengan penanaman sampel pada medium pemupuk EC. Broth terlihat hasil dari semua
sampel positif adanya pertumbuhan yakni berupa kekeruhan yang kemudian
dilanjutkan ke medium selektif endo agar. Pertumbuhan koloni yang tersangka
terlihat berwarna merah metalik, mengkilat, permukaan koloni cekung, pinggir
koloni bulat rata, ukuran sedang sampai besar. Namun dari semua sampel yang
diperiksa tumbuh koloni yang ciri-cirinya sesuai dengan ciri-ciri koloni Escherichia coli. sehingga dilanjutkan kemedium berikutnya.
Proses isolasi dan identifikasi dari ke-5
sampel dilanjutkan penanaman pada medium differensial yakni KIA (Kligler Iron
Agar), dan pertumbuhan pada medium ini jika positif menunjukkan hasil : Kuning
acid/asam, H2S (-) negatif dan Gas (+) positif. Dari medium Endo
Agar juga dilakukan pewarnaan gram dan terlihat hasil yang didapatkan adalah
gram (-) bentuk batang yang berwarna merah muda.
Pada tes IMVIC diperoleh hasil : Indol (+)
positif, Methyl Red (+) positif, Voges Prouescaver (-) negatif dan citrat (-)
negatif. Kemudian ke-5 sampel tersebut dilanjutkan ke tes penegasan atau tes
biokimia lengkap, dimana diperoleh hasil sebagai berikut :
1.
Sampel A
Urea (+), Citrat (+),
MIO (+/+/-), PAD (+), LIA (-), MR (+), VP (-), Malonet (+), Glukosa (+),
Laktosa (+), Sukrosa (+), Manitol (+), Maltosa (+).
2.
Sampel B
Urea (+), Citrat (+),
MIO (+/-/-), PAD (-), LIA (Variabel), MR (+), VP (-), Malonet (+), Glukosa (+),
Laktosa (-), Sukrosa (+), Manitol (+), Maltosa (+).
3.
Sampel C
Urea (+), Citrat (+),
MIO (+/+/-), PAD (Variabel), LIA (+), MR (+), VP (+), Malonet (+), Glukosa (+),
Laktosa (-), Sukrosa (+), Manitol (-), Maltosa (+).
4.
Sampel D
Urea (+), Citrat
(Variabel), MIO (+/V/-), PAD (+), LIA (-), MR (+), VP (-), Malonet (+), Glukosa
(+), Laktosa (+), Sukrosa (-), Manitol (+), Maltosa (+).
5.
Sampel D
Urea (+), Citrat
(Variabel), MIO (+/V/-), PAD (+), LIA (-), MR (+), VP (-), Malonet (+), Glukosa
(+), Laktosa (+), Sukrosa (-), Manitol (+), Maltosa (+).
KESIMPULAN
DAN SARAN
Dari hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat
disimpulkan bahwa hasil uji laboratorium terhadap 5 sampel sisa parutan kelapa
yang diambil di Pasar Hartaco Makassar tidak terindentifikasi adanya Escherichia coli, sehingga disarankan kepada pengusaha
parut sebelum melakukan pemarutan kelapa harus memperhatikan kebersihan alat
serta air yang digunakan harus air yang mengalir dan bersih untuk pencucian
kelapa.
DAFTAR
RUJUKAN
Abdul Gani, 2003. Metode Bakteriologi Diagnostik. Balai Laboratorium Kesehatan
Makassar. Makassar
Indan Entjang, 2003. Mikrobiologi Dan Parasitologi
Untuk Akademika Keperawatan. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti.
Dwidjoseputro. 2005. Dasar-Dasar mikrobiologi. Jakarta: djambatan.
Ganda Soebrata R, 2006. Penuntun Laboratorium klinik. Jakarta : Dian Rakyat.
Mursalim Ahmad. 2002. Bakteriologi Klinik. Depkes
Makassar.
Nahir Bandu, 2015. Diktat Ajar Bakteriologi. Program Studi DIII Analis Kesehatan
Universitas Indonesia Timur. Makassar. Makassar.
GAMBARAN
HASIL PEMERIKSAAN KADAR ELEKTROLIT KLORIDA (Cl_) PADA PENDERITA HIPERTENSI
JURNAL
SYARIF
ABSTRACT
This study aims to determine the levels of electrolytes chloride (Cl⁻) in patients with hypertension. This type of research is observational laboratory with descriptive approach is to determine the examination results electrolyte levels of chloride (Cl⁻) in hypertensive patients with a master's touch screen using a photometer Cyanat Thio method. Thio Cyanat method is a method of examination where the intensity of color formed in accordance with chloride concentrations determined photometer so that the results can be relied upon.
Rated normal chloride levels in units of mEq / L for adults is 95-105 mEq / L, while normal values chloride levels in units of mmol / L is 97-111 mmol / L. Based on research conducted at the Laboratory D-III Health Analyst University of Indonesia Eastern Tterhadap 5 sample of hypertensive adults, the results obtained by the A: 108 mmol / L, B: 94 mmol / L, C: 87 mmol / L, D: 86 mmol / L, E: 93 mmol / L, the percentage of chloride electrolyte levels (Cl⁻) which is normal as much as 1 sample (20%), and electrolyte levels of chloride (Cl⁻) below normal by 4 samples (80%).
Keywords: Chloride, Hypertension, Thio Cyanat.
PENDAHULUAN
Zat yang terlarut dalam cairan tubuh terdiri atas
elektrolit dan nonelektrolit. Zat nonelektrolit adalah zat terlarut yang tidak
terurai dalam larutan dan tidak bermuatan listrik, sedangkan elektrolit adalah
substansi berupa ion-ion yang mampu menghantarkan listrik. Aliran listrik
ion-ion bermuatan positif disebut kation yang terdiri dari (kalium, natrium,
kalsium, dan magnesium) dan yang bermuatan negatif disebut anion terdiri dari
(klorida, bikarbonat, fosfat, dan sulfat), sedangkan yang bukan elektrolit
yaitu air, dekstrose, protein, asam organik, ureum, dan kreatinin
(Syaifuddin,2009).
Pengaturan keseimbangan elektrolit dapat dibagi menjadi
tujuh, salah satunya yaitu klorida. Klorida merupakan anion utama dalam cairan
ekstrasel, tetapi klorida dapat ditemukan pada cairan ekstrasel dan intrasel.
Fungsi klorida biasanya bersatu dengan natrium (natrium klorida atau NaCl)
yaitu mempertahankan keseimbangan tekanan osmotik dalam darah (Musrifatul dan
A.Aziz, 2009).
Garam (NaCl) berperan penting dalam pemberian rasa dalam
bentuk bumbu (seasoning) dan pengolahan makanan dan minuman . Garam memberi
rasa (flavor), memperbaiki daya tahan, dan karakteristik makanan dan minuman.
Keberadaan garam menimbulkan rasa lezat pangan karena efek rasa asinnya.
Mineral natrium (Na) dan Chlorida (Cl) pada garam adalah zat gizi mikro
esensial bagi tubuh manusia, karena tidak diproduksi oleh tubuh melainkan harus
mendapat asupan dari pangan. Asupan garam dalam jumlah cukup diperlukan tubuh
untuk, antara laian, transmisi rangsangan syaraf dan kontraksi otot. Namun,
asupan garam berlebih dalam jangka waktu tertentu, telah dibuktikan secara
ilmiah ada hubungannya dengan penyakit jantung, tekanan darah tinggi
(hipertensi), dan stroke (Anggraeni dkk, 2014).
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang abnormal dan
diukur paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Tekanan darah normal
bervariasi sesuai usia, sehingga setiap diagnosis hipertensi harus bersifat
spesifik usia. Joint National Commiittee and Prevention, Detection, Evaluation,
and Treatment of High Blood Pressure yang ke-7 telah mempublikasikan revisi
panduan nilai tekanan darah sistolik dan diastolik yang optimal dan
hipertensif. Pada umumnya, tekanan yang dianggap optimal adalah kurang dari 120
mmHg untuk tekanan sistolik dan 80 mmHg untuk tekanan diastolik, sementara
tekanan yang dianggap hipertensif adalah lebih dari 140 mmHg untuk sistolik dan
lebih dari 90 mmHg untuk diastolik. Istilah “prahipertensi” adalah tekanan
darah antara 120 dan 139 mmHg untuk sistolik dan 80 dan 89 mmHg untuk
diastolik. Untuk individu terutama yang memiliki faktor risiko kardiovaskuler
bermakna, termasuk riwayat yang kuat dalam keluarga untuk infark miokard atau
stroke, atau riwayat diabetes pada individu, bahkan pada nilai prahipertensi
dianggap terlalu tinggi (Elizabeth J, 2009).
Hipertensi atau tekanan darah tinggi merupakan masalah
kesehatan yang dominan terjadi di beberapa negara maju. Berdasarkan data World
Health Organization (WHO) tahun 2011, pada tahun 2025 diperkirakan akan ada
satu miliar penduduk dunia menderita hipertensi. Dua pertiga jumlah itu tinggal
di negara berkembang, termasuk Indonesia. Berdasarkan data Statistik Kesehatan
Dunia WHO tahun 2012, hipertensi menyumbang 51% kematian akibat stroke dan 45%
kematian akibat jantung koroner (Kompas, 2013).
Prevalensi hipertensi di Indonesian berdasarkan data
Riskesdas (2007) adalah 31,7% atau 1 dari 3 orang mengalami hipertensi. Namun,
75% penderita hipertensi tidak mengetahui bahwa dirinya menderita hipertensi.
Mereka baru menyadari jika telah terjadi komplikasi. Di Indonesia, ancaman
hipertensi tidak boleh diabaikan. Hal ini dapat dibuktikan dengan jumlah
penderita hipertensi yang setiap waktu semakin bertambah (Depkes, 2009).
Prevalensi hipertensi di Sulawesi Selatan menurut
Riskesdas tahun 2007 meningkat berdasarkan kelompok umur yaitu pada kelompok
umur 45-54 tahun prevalensi hipertensi yaitu 38,3%, pada kelompok umur 55-64
tahun prevalensi hipertensi yaitu 47,8%, pada kelompok umur 65-74 tahun
prevalensi hipertensi yaitu 52,7%, dan pada kelompok umur ≥ 75 tahun prevalensi
hipertensi yaitu 53,5%. Semakin bertambahnya umur maka prevalensi hipertensi
juga semakin meningkat (Depkes, 2009).
Data Dinas Kesehatan Kota Makassar menunjukkan jumlah
kasus baru di kota Makassar pada tahun 2010 sebanyak 13.803 kasus. Tahun 2011
kasus hipertensi meningkat menjadi 25.332 kasus. Kemudian pada tahun 2012 kasus
hipertensi turun menjadi 12.298 kasus.
METODE DAN
BAHAN
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah observasi laboratorik yang hasilnya disajikan dalam bentuk deskriptif. Pada penelitian ini menggunakan
sampel berupa darah penderita hipertensi sebanyak 5 sampel yang ambil dengan menggunakan tehnik purposive sampling, kemudian diperiksa menggunakan alat fotometer screen master touch metode thyo cyanat di
Laboratorium D-III Analis Kesehatan Universitas Indonesia Timur Makassar pada tanggal 23 April 2016.
darah penderita hipertensi sebanyak 5 sampel.
PROSEDUR
LABORATORIUM
1.
Tahap Pra – Analitik
a. Persiapan Pasien
Gejala-gejala
dari hipertensi :
1) Sakit kepala saat terjaga, kadang-kadang disertai mual
dan muntah, akibat peningkatan tekanan darah intrakranium.
2) Penglihatan kabur akibat kerusakan hipertensif pada
retina.
3) Cara berjalan yang tidak mantap karena kerusakan susunan
saraf pusat.
4) Nokturia yang disebabkan peningkatan aliran darah ginjal
dan filtrasi glomerulus.
5) Edema dependen dan pembengkakan akibat peningktan tekanan
kapiler.
6) Jantung bedebar-debar
7) Sulit bernafas setelah bekerja
8) Mudah lelah, wajah memerah, hidung berdarah (mimisan),
dan telinga berdening.
b. Persiapan Bahan dan Alat
1) Alat
a) Centrifuge
b) Mikropipet 1000
dan 10
c) Tips biru dan kuning
d) Fotometer screen master touch
e) Tabung reaksi + rak tabung
2) Bahan
a) Aquadest
b) Reagen klorida
c) Serum
2.
Tahap Analitik
Prosedur
Kerja :
a. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan
b. Dipipet 1000
reagen
klorida ke dalam tabung yang sudah diberi label sampel (s), standar (st), dan
blanko (b)
c. Ditambahkan 10
serum ke dalam tabung sampel, 10
standar pada tabung standar dan 10
aquadest pada tabung blanko
d. Dihomogenkan lalu inkubasi selama 5 menit, kemudian baca absorbannya
pada fotometer dengan panjang gelombang 505 nm pada suhu 37
.
3.
Tahap Pasca Analitik
Interpretasi Hasil : a. Satuan mEq/L
Dewasa :
95 - 105 mEq/L
Anak :
98 - 110 mEq/L
Bayi :
95 - 110 mEq/L
Bayi baru lahir :
94 – 112 mEq/L
b. Satuan mmol/L
Serum :
97 – 111 mmol/L
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil
pemeriksaan elektrolit klorida (Cl⁻) pada penderita hipertensi yang telah dilakukan pada tanggal 23 April
2016 di Laboratorium D-III Analis Kesehatan Universitas Indonesia Timur
Makassar sebanyak 5 sampel diperoleh data seperti pada table di bawah ini :
Tabel 1.1 Hasil
Pemeriksaan Elektrolit Klorida (Cl⁻) Pada Penderita
Hipertensi
No
|
Kode
sampel
|
Hasil
Pemeriksaan Elektrolit Klorida
Pada
Penderita Hipertensi
|
Keterangan
|
1
|
A
|
108
mmol/L
|
Normal
|
2
|
B
|
94
mmol/L
|
<
Normal
|
3
|
C
|
87
mmol/L
|
<
Normal
|
4
|
D
|
86
mmol/L
|
<
Normal
|
5
|
E
|
93
mmol/L
|
<
Normal
|
Sumber : Data Primer,
2016.
Pada table 4.1 menunjukkan bahwa distribusi
hasil pemeriksaan elektrolit klorida (Cl⁻) pada penderita hipertensi Rumah Sakit Umum
Daerah Syekh Yusuf di Laboratorium D-III Analis Kesehatan Universitas Indonesia
Timur bervariasi, dimana hasil pemeriksaan elektrolit klorida (Cl⁻) yang terendah 86 mmol/L dan yang tertinggi 108
mmol/L.
Tabel 1.2 Persentase Hasil Pemeriksaan Elektrolit
Klorida (Cl⁻) Pada Penderita Hipertensi
Variabel
|
Frekuensi
|
%
|
Normal
|
1 sampel
|
20 %
|
Rendah
|
4 sampel
|
80 %
|
Total
|
5 sampel
|
100 %
|
Sumber : Data Primer, 2016.
Berdasarkan hasil
pemeriksaan elektrolit klorida (Cl⁻) penderita hipertensi pada tabel di atas yang
mempunyai kadar elektrolit klorida (Cl⁻) normal sebanyak 1 sampel (20 %), dan yang memiliki kadar elektrolit klorida (Cl⁻) terendah sebanyak 4 sampel (80 %) sehingga dapat
dikategorikan persentase elektrolit klorida (Cl⁻) seperti di bawaah ini :
Gambar 1.2 Presentase Hasil Pemeriksaan
Elektrolit Klorida (Cl⁻) Pada Penderita Hipertensi
Sumber : Data Primer, 2016
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil
penelitian yang telah dilakukan di
Laboratorium D-III Analis Kesehatan Universitas Indonesia Timur Makassar pada
tanggal 23 April 2015 terhadap 5 sampel darah penderita hipertensi menunjukkan
kadar elektrolit klorida (Cl⁻) yang normal sebanyak 1 sampel (20 %), dan
kadar elektrolit (Cl⁻) yang rendah sebanyak 4 sampel (80 %). Hasil kadar
elektrolit klorida (Cl⁻) yang tertinggi adalah 108 mmol/L dan yang
terendah adalah 86 mmol/L.
Faktor-faktor yang mempengaruhi
ketelitian dan ketepatan hasil pemeriksaan yaitu mencakup tahap pra analitik,
analitik, dan pasca analitik juga telah
dikendalikan semaksimal mungkin dengan cara memperhatikan kemungkinan kesalahan
yang dapat terjadi pada waktu melakukan pemeriksaaan, sehingga dilakukan
tindakan penanggulangan dan hasil yang dikeluarkan tepat dan teliti.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian yang telah
dilakukan di Laboratorium D-III Analis Kesehatan Universitas Indonesia Timur
Makassar pada tanggal 23 April 2016 terhadap 5 sampel darah penderita
hipertensi menunjukkan:
1.
Hasil yang diperoleh yaitu A : 108 mmol/L, B : 94 mmol/L, C : 87 mmol/L,
D : 86 mmol/L, E : 93 mmol/L
2.
Persentase kadar elektrolit klorida yang normal sebanyak 1 sampel (20
%), dan kadar elektrolit klorida yang rendah sebanyak 4 sampel (80%).
3.
Berdasarkan poin nomor satu dan dua menunjukkann bahwa 20 % hipertensi
dipengaruhi oleh elektrolit klorida (Cl⁻), sehingga disarankan bagi
penderita hipertensi untuk menjaga pola makan yang sehat, hindari makanan yang
tinggi lemak dan garam.
DAFTAR RUJUKAN
Ahmad, Mirnawati. 2014. Study
Hasil Pemeriksaan Kadar Klorida Darah
Pada Penderita Gastritis Metode Thio Cyanat. Karya Tulis Ilmiah. Makassar:
Universitas Indonesia Timur.
Anwar A. Ardian. 2014. Penuntun dan Laporan Praktikum Kimia Klinik III. Makassar: Program
Studi D-III Analis Kesehatan Universitas Indonesia Timur.
A.S. Muhammadun. 2010. Hidup
Bersama Hipertensi Seringai Darah Tinggi Sang Pembunuh Sekejap. Jogjakarta:
In-Books.
Casey Aggie dan Herbert Benson. 2006. Menurunkan
Tekanan Darah. Jakarta: PT Bhuana Ilmu Populer.
Corwin, Elizabeth. J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: Buku
Kedokteran EGC.
Dalimartha, Setiawan dkk. 2008. Care Your self Hipertensi. Cetak I.
Jakarta: Penebar Plus+.
Kowalski, Robert E. 2010. Terapi Hipertensi. Bandung: Penerbit
Qanita.
Susilo Yekti dan Wulandari Ari. 2011. Cara Jitu Mengatasi Hipertensi.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Syaifuddin. 2009. Fisiologi Tubuh Manusia untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2.
Jakarta: Salemba Medika.
Tambayong, Jan. 2000. Patofisiologi Untuk Keperawatan.
Cetak I. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Yusran, Muh. 2014. Analisa Kadar Kalsium pada Perokok Aktif.
Karya Tulis ilmiah. Makassar: Uiversitas Indonesia Timur.
ANALISIS KADAR KALIUM
PADA PISANG RAJA (Musa paradisiaca)
dan PISANG BARANGAN (Musa acuminata linn)
YANG BERASAL DARI
KABUPATEN PINRANG
RIZMAN NAIM
ABSTRACT
A research on the analysis of the levels of potassium in plantain (Musa paradisiacal) and banana (Musa acuminata linn) for the purpose of determining the levels of potassium in plantain and banana which originated from the district Pinrang, the benefits of research as information for the public about the importance the role of potassium in the body. This is a descriptive study using Atomic Absorption Spectrophotometer (AAS) at a wavelength of 766.5 nm. From the results of laboratory analysis potassium levels each - each sample P.raja1 = 121.27 mg / g, P.raja2 = 131.03 mg / g, P.raja3 = 126.27 mg / g, P.barangan1 = 105.39 ug / g, P.barangan2 = 104.87 mg / g, P.barangan3 = 107.09 mg / g.
Plantains have higher levels of potassium than banana, while the general standard of potassium in bananas is 358 ug / g. It is recommended to consumers to consume a banana as one type of fruit that contain potassium to meet the needs of potassium per day.
Keywords : Potassium, King Banana (Musa paradisiaca) and Barangan Banana (Musa acuminata linn).
PENDAHULUAN
Seperti diketahui
bahwa buah-buahan adalah bahan pangan yang sangat penting sebagai sumber
vitamin dan mineral. Kebutuhan masyarakat akan buah-buahan dan sayuran sangat
dibutuhkan saat ini, karena semakin meningkat sejalan dengan pertumbuhan
penduduk dan perbaikan kualitas hidup (Natawidjaja, S., 2001).
Pisang mempunyai
kandungan gizi sangat baik, antara lain menyediakan energi cukup tinggi dibandingkan
dengan buah-buahan lain. Pisang kaya
mineral seperti kalium, magnesium, fosfor, besi dan kalsium. Dalam sebuah pisang terdapat
kurang lebih 358 µg/g m kalium. Kandungan kalium yang cukup banyak terkandung
dalam buah ini yang mampu menjaga darah agar tetap normal (Joko, P., 2006).
Pisang termasuk dalam
famili Musaceae, tanaman ini berasal dari Malaysia kemudian disebarkan ke
India, Filipina dan New Guana, termasuk Indonesia. Pisang terdiri dari berbagai
varietas sehingga warna, bentuk dan ukurannya pun berlainan. Varietas pisang
yang diunggulkan adalah pisang Ambon kuning, pisang Ambon lumut, pisang
barangan, pisang badak, pisang raja, pisang kepok kuning, pisang susu, pisang
tanduk dan pisang nangka. Kandungan mineral yang menonjol pada pisang adalah
kalium. Kalium berfungsi antara lain untuk menjaga keseimbangan air dalam
tubuh, kesehatan jantung, menurunkan tekanan darah, dan membantu pengiriman
oksigen kedalam otak (Sumartono., 2001).
Mineral adalah suatu bahan atau zat yang homogen mempunyai
komposisi kimia tertentu atau dalam batas-batas dan mempunyai sifat-sifat
tetap, dibentuk dialam dan bukan hasil suatu kehidupan. Mineral terdapat dalam
tubuh dan memegang peranan penting dalam pemeliharaan fungsi tubuh, baik
tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan. Keseimbangan
mineral didalam tubuh untuk pengaturan kerja enzim pemeliharaan keseimbangan
asam basa, pemeliharan kepekaan otot dan saraf terhadap rangsangan (Robert, E.,
2001).
Kalium merupakan kation utama (99%) di dalam
cairan ekstraseluler berperan penting di dalam terapi gangguan keseimbangan air
dan elektrolit. Jumlah kalium dalam tubuh sekitar 53 mEq/kg dimana 99% dapat
berubah-ubah sedangkan yang tidak dapat berpindah adalah kalium yang terikat
dengan protein didalam sel. Kalium dalam tubuh orang dewasa lebih banyak terdapat
dalam ruang intraseluler, kalium berperan dalam mengatur tekanan osmosis cairan
tubuh ( Halim, A., 2002).
Berdasarkan latar belakang diatas,
peneliti merasa tertarik membahas dan mengangkatnya kedalam judul:’’Analisis
kadar kalium pada pisang raja (Musaparadisiaca)
dan pisang barangan (Musa acuminata linn)
yang berasal dari kabupaten Pinrang”.
ALAT DAN BAHAN
Jenis
penelitian ini adalah jenis penelitian dengan menggunakan metode deskriptif, yaitu
penggambaran dari data penelitian secara kuantitatif untuk menganalisa kadar
kalium pada pisang raja dan pisang barangan yang berasal dari kabupaten Pinrang
dan dilakukan dengan teknik analisa laboratororium.
Lokasi
penelitian dilaksanakan Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar pada tanggal
21 April 2016. Sampel dalam
penelitian ini adalah buah pisang raja yang matang sebanyak 3 buah dan pisang
barangan yang matang sebanyak 3 buah yang diambil dengan
tehnik purposive sampling yaitu cara
pengambilan sampel yang memiliki kriteria tertentu yaitu pisang yang sudah
matang.
PROSEDUR LABORATORIUM
1. Pra Analitik
a. Persiapan sampel
Sampel yang baik adalah pisang dengan tingkat kematangan
yang pas agar hasil yang diperoleh lebih baik.
b. Persiapan alat dan bahan
Alat :
1) Cawan porselin
2) Beaker glass
3) glass ukur
4) Neraca analitik
5) Pipet volume
6) Hot plate
7) Pengaduk
8) Penggerus
9) Lemari asam
10)
Corong
11)
Pipet
ukur
12)
Botol sampel
13) Spektrofotometer Serapan Atom (SSA)
Bahan :
1) Aqudest
2) Asam sulfat (H2SO4)
3) Asam nitrat pekat (HNO3)
4) Asam klorida (HCL)
5) Kertas whatman no. 1
6) Kalium klorida (KCL)
7) Sampel pisang (Raja dan Barangan)
8) Analitik
2. Analitik
a. Preparasi sampel
Buah pisang raja dan pisang barangan dikupas lalu
masing-masing dipotong kemudian sampel digerus sampai halus.
b. Dekstruksi sampel
1) Timbang sebanyak 10 gram pisang lalu dimasukkan kedalam
beaker glass 250 ml.
2) Tambahkan 10 ml asam sulfat (H2SO4)
dan 10 ml asam nitrat pekat (HNO3).
3) Panaskan perlahan hingga berwarna gelap.
4) Tambahkan 5 ml asam nitrat pekat (HNO3) dan
lakukan pemanasan hingga larutan terlihat jernih, dinginkan.
5) Filtrat setelah
didekstruksi dimasukkan kedalam glass ukur 50 ml dan tambah aquadest sampai
tanda batas.
6) Saring larutan menggunakan kertas whatman no.1
c. Pembuatan larutan stok kalium 1000 ppm (Part Per Milion)
Ditimbang 1,910 gram KCL, tambahkan HCL 3 ml
larutkan dengan aquadest hingga 100 ml, dan cukupkan volumenya sampai tanda
batas (1000 ppm). Stok 1000 ppm dibuat
larutan standar menengah dengan larutan 500 ppm, yaitu 50 ml larutan stok 1000
ppm dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml dan dicukupkan volumenya sampai tanda
batas 100 ml. Dari larutan ini dipipet 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml, dan 10 ml.
Kemudian dimasukkan kedalam labu ukur 100 ml, dicukupkan volumenya hingga batas
tanda sehingga diperoleh larutan baku dengan konsentrasi 10 ppm, 20 ppm, 30
ppm, 40 ppm dan 50 ppm.
d. Pembuatan kurva baku
Dibuat larutan baku dengan konsentrasi 10
ppm, 20 ppm, 30 ppm, 40 ppm, dan 50 ppm, dengan cara dipipet larutan standar
1000 ppm masing-masing 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml, dan 10 ml. Diukur serapannya
dengan menggunakan spektrofotometer serapan atom pada panjang gelombang 766,5
nm dengan lampu katoda K. Kurva baku dibuat dengan cara memplotkan absorban
terhadap konsentrasi larutan (ppm).
e. Penentuan panjang gelombang maksimum
Hasil penyaringan sampel pisang raja dan
pisang barangan masing-masing diukur serapan kalium dengan spektrofotometer
serapan atom pada panjang gelombang 766,5 nm.
f. Analisa kadar kalium
Larutan sampel di baca kadarnya dengan
menggunakan alat spektrofotometer
serapan atom dengan absorban dengan panjang gelombang 766,5 nm.
3.
Pasca analitik
Interpretasi
hasil :
Kadar
kalium pada pisang 358 µg/g.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil penelitian yang telah dilakukan di Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar
pada tanggal 21 April 2016. Pada 3 sampel pisang raja dan 3 sampel pisang
barangan yang berasal dari Kabupaten Pinrang diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan Kadar
Kalium pada Pisang
Raja (Musa Paradisiaca) dan Pisang
Barangan (Musa Acuminata Linn)
No Urut
|
No.Lab
|
Kode
Sampel
|
Satuan
|
Kalium
|
1
|
15105404
|
A1
|
µg/g
|
121,27
|
A2
|
µg/g
|
131,03
|
||
A3
|
µg/g
|
126,27
|
||
2
|
15105405
|
B1
|
µg/g
|
105,39
|
B2
|
µg/g
|
104,97
|
||
B3
|
µg/g
|
107,09
|
Sumber : Data Primer
2016.
32
|
Pisang
raja dan pisang barangan yang telah ditimbang masing-masing sebanyak 10 gram,
ditambahkan asam sulfat (H2SO4) dan asam nitrat (HNO3)
sebanyak 10 ml, fungsi dari penambahan asam sulfat (H2SO4)
dan asam nitrat (HNO3) yaitu untuk mempercepat terjadinya reaksi
oksidasi dan mempercepat proses dekstruksi, karena asam sulfat (H2SO4)
dan asam nitrat (HNO3) termasuk dalam golongan asam kuat dan
oksidator kuat.
Kemudian
dipanaskan diatas hot plate sampai larutan terlihat jernih. Setelah itu sampel
dimasukkan kedalam labu ukur 50 ml dan ditambah aquadest sampai tanda batas.
Lalu sampel disaring dengan menggunakan kertas whatman no 1 untuk memperoleh
filtrat dari pisang raja dan pisang barangan. Kemudian sampel masing-masing
dimasukkan kedalam botol kaca dan siap dianalisa kuantitatif dengan menggunakan
Spektrofotometer Serapan Atom (SSA). Pisang raja dan pisang barangan yang
berasal dari kabupaten Pinrang mengandung kalium yang cukup sehingga dapat
digunakan sebagai salah satu sumber kalium harian.
Dari
hasil analisis kuantitatif yang telah diperiksa secara spektrofotometer serapan
atom, menunjukkan bahwa 3 pisang raja dan 3 pisang barangan yang berasal dari
kabupaten Pinrang mengandung kalium dengan kadar masing-masing pada sampel P.Raja1
= 121,27 µg/g, sampel P. Raja2 = 131,03 µg/g, P.Raja3
= 126,27 µg/g, sampel P.Barangan1 = 105,39 µg/g, sampel P. Barangan2
= 104,87 µg/g, sampel P.Barangan3 = 107,09 µg/g.
Dari hasil
penelitian diperoleh hasil yang berbeda-beda. Yang menyebabkan perbedaan dari
hasil tersebut yaitu karena terjadinya proses dekstruksi yang tidak sempurna
sehingga didapatkan hasil yang berbeda.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka disimpulkan bahwa
pada pisang raja dan pisang barangan yang berasal dari Kabupaten Pinrang telah
diteliti mengandung kalium. Pisang raja kadar kaliumnya lebih tinggi daripada
pisang barangan, secara umum pisang mengandung kalium 358 µg/g.
Dari hasil
penelitian ini, diharapkan dapat menjadi bahan masukan bagi pembaca dan
mengetahui fungsi serta peranan kalium didalam tubuh seperti dapat mencegah
strok, mencegah gula darah rendah, sebagai elektrolit, dan mencegah
keseimbangan cairan didalam tubuh.
DAFTAR RUJUKAN
Gembong, T., 2001. Taksonomi
Tumbuhan. Bharata Karya Aksara. Jakarta.
Halim, A., 2002. Nirtrogen
Phospate Kalium. Liberty. Surabaya.
Haryono, B., 2007. Prosedur
Analisa. Liberty. Yogyakarta.
Joko, P., 2006.
Panduan Gizi Lengkap Keluarga dan Olahragawan. Andi. Yogyakarta.
Natawidjaja, S., 2001.
Mengenal Buah-buahan Yang Bergizi. Pustaka Dian. Bandung.
Nazaruddin, Muchlisah, F., 2003. Buah Komersial. Penebar Swadaya. Jakarta.
Oemarjati, S.,2002, Bertanam
Pohon Buah-buahan. Kanisius. Yogyakarta.
Robert, E., 2001. Pengetahuan
Gizi Mineral. Kanisius. Bandung
Sumartono., 2001. Pisang.
Bumi Restu. Jakarta.
Supriyadi, A., 2008. Pisang
Budi Daya, Pengolahan, dan Prospek Pasar. Penebar Swadaya. Jakarta.
Suyanti.,
2010. Pisang Edisi Revisi, Penebar
Swadaya. Jakarta.
STUDI KUALITAS AIR MINUM ISI ULANG DI JALAN ABDUL KADIR KECAMATAN TAMALATE KOTA MAKASSAR
HASAN
ABSTRACT
Water Recharging is one of the new alternative, cheaper and more practical for the community, to meet the drinking water needs. However Drinking Water Quality Recharging can cause health problems relating to the quality parameters of physical, chemical, biological and radioactive.
The purpose of this study was to determine the quality of drinking water Recharging based processing, parameter temperature, turbidity, color, Total Dissolved Substances, Smell, Taste, iron, pH, and MPN Coli. This study uses descriptive and observational approach sampling method is total sampling with a sample size 6 samples.
The results showed that the treatment process AMIU, temperature parameters 27.0 to 29.1, Keruhan 0.0 to 18 NTU, Colour all TCU 0, Total Dissolved Substance 20-300 mg / L, smell all odorless, tasteless Rasa all , a pH of 7.50 to 8.11 mg / L, Iron all 0 mg / L for all depot qualify. Coli MPN biological parameters that five samples grading qualify 0/100 Ml water samples and one sample that does not qualify the 70/100 level Ml of water samples by PERMENKES No. 492 / Menkes / PER / IV / 2010 levels 0/100 ml sample.
Based on the research that has been conducted, it is expected that all employers Depot Refill Water to keep improving the quality of refill drinking water produced and To intansi related to always perform continuous monitoring of the quality of drinking water refills will distributorkan to the public. And to society as a consumer to always be cautious in choosing and consuming drinking water refills.
Keywords : Quality of Drinking Water Refill physical parameters, chemical and biological parameters
PENDAHULUAN
Penyediaan air bersih masih menjadi salah satu perioritas
dalam peningkatan derajat kesehatan masyarakat, karena air merupakan materi
esensial yang tidak ada satu satupun mahkluk hidup di dunia ini yang tidak
membutuhkan air. Kita memerlukan air bersih untuk minum, memasak, mencuci, dan
keperluan lain. Selain itu, air juga dibutuhkan untuk kelangsungan proses
industri, kegiatan pertanian, perikanan dan
disektor-sektor dan lain. Tubuh manusia rata-rata mengandung air sebanyak
90 % dari berat badannya. Tubuh orang dewasa, sekitar 55-60%, untuk anak-anak
sekitar 65% dan untuk bayi sekitar 80%. Untuk kebutuhan tersebut Organisasi
Kesehatan Dunia (WHO) menganjurkan
konsumsi air perhari 2,9 liter untuk untuk pria dan 2,2 liter untuk wanita
dewasa. Gabungan parah ahli dalam National
Academics of Science, Institusi of
Medicine dan Nutrition Board jaga merekomendasiakan hal serupa, 3 liter
perhari untuk pria dewasa dan 2,2 liter untuk wanita dewasa. Namun agar tetap
sehat harus memenuhi persyaratan fisik, kimia, maupun bakteriologis. (Tirta,
2016).
Seiring menigkatnya kepadatan penduduk maka kebutuhan air
pun semakin meningkat sehingga dituntut tersedianya air yang sehat, yang
meliputi pengamanan dan penetapan kualitas, kuantitas air untuk kebutuhan hidup
manusia. Di Indonesia, cakupan pelayanan air minum tahun 2014 di Indonesia baru 29 % dan sisanya
bergantung pada sumber air minum dari air permukaan, air sumur, air sungai,
serta air hujan yang tidak terlindungi. Sebagian besar air yang dikonsumsi
masyarakat juga tercemar oleh koli tinja. Air minum yang berkualitas dan layak
minum harus dapat diterima secara estetis, jernih, tidak berasa dan tidak
berbau, tidak mengandung partikel terlarut, serta tidak mengundang kuman dan
logam berat yang bisa menimbulkan gangguan kesehatan. Ketiadaan bakteri
Escherichia coli merupakan salah satu indikator mutu dan keamanan air minum.
Bakteri ini habitat alaminya adalah pada usus manusia. (Ratih, 2016)
Sebagian besar kebutuhan air minum dikalangan masyarakat
selama ini dipenuhi dari sumber air sumur atau dari air permukaan yang telah
diolah oleh Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), karena semakin rendahnya
kualitas air sumur, sementara PDAM belum mampu memasok air dengan jumlah yang
memadai dan kualitas cukup serta belum
menjangkau seluruh lapisan masyarakat secara merata, sehingga merangsang
pertumbuhan Perusahan Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang siapa melayani
masyarakat. (AMPL, 2016)
Saat ini di Indonesia lebih dari 350 industri perusahaan
dalam kemasan (AMDK), berdasarkan data sementara Apdamindo, saat ini ada
sekitar 300 depot air minum isi ulang (AMIU) di Sulsel dan separuh di antaranya
berada di Kota Makassar. Usaha ini menyerap lebih dari 3.000 tenaga kerja
dengan investasi sekitar Rp1,5 miliar atau rata-rata Rp50 juta/unit usaha.
Industri air minum isi ulang (AMIU) tumbuh pesat dan telah menjadi salah satu
alternatif bisnis kecil dan menengah serta berkonstruksi terhadap suplai air
minum di kota-kota besar dengan harga terjangkau, sekitar Rp. 3000/galon.
Sayangnya, belum ada data pasti tentang data jumlah industri air minum isi
ulang (AMIU) yang ada di Indonesia, karena sebagian industri ini tidak
terdaftar. Di sisi lain, perkembangan industri berpotensi menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan konsumen,
bila tidak ada regulasi yang efektif. Isu yang mengemukakaan saat ini adalah
rendahnya jaminan kualitas terhadap air minum yang dihasilkan. (PERSI, 2009).
Pakar kesehatan lingkungan dari Fakultas Kesehatan
Masyarakat Universitas Indonesia, penyakit diare pada 2014 lalu diderita oleh
124 juta orang di Indonesia. Jumlah kasus diare menunjukkan peningkatan yang
cukup signifikan dari tahun ke tahun, balita yang minum air tercemar memiliki
risiko lebih tinggi terkena diare dibanding balita yang air minumnya aman.
Diare disebut sebagai peringkat kedua penyebab kematian balita dengan 162.000
kematian setiap tahunnya, Untuk memantau kebersihan air, Unilever bekerja sama dengan Sucofindo
mengadakan survei terhadap 300 sumber air minum dan hasilnya, 48% sumber
air di Jabodetabek dan Bandung tersebut tercemar oleh bakteri coliform dan 50%
berada pada tingkat keasaman (pH) yang rendah di luar ambang batas wajar.
Penelitian menyebutkan, hampir 50% penyakit yang diderita masyarakat Indonesia
disebabkan oleh air minum yang tercemar.
Angka
kejadian diare di sebagian besar wilayah Indonesia hingga saat ini masih
tinggi, sekitar 162 ribu balita meninggal setiap tahun atau sekitar 460 balita
setiap harinya. Dari
hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) di Indonesia, diare merupakan
penyebab kematian nomor 2 pada balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi
semua umur. Setiap anak di Indonesia mengalami episode diare sebanyak 1,6–2
kali per tahun. Kasubdit Diare dan Kecacingan Depkes, I
Wayan Widaya mengatakan hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun 2011,
angka kematian akibat diare 23 per 100 ribu penduduk dan pada balita 75 per 100
ribu balita. Selama tahun 2012 sebanyak 41 kabupaten di 16 provinsi melaporkan
KLB (kejadian luar biasa) diare di wilayahnya. Jumlah kasus diare yang dilaporkan
sebanyak 10.980 dan 277 diantaranya menyebabkan kematian. Hal tersebut,
terutama disebabkan rendahnya ketersediaan air bersih, sanitasi buruk dan
perilaku hidup tidak sehat. Jumlah
penderita diare tertinggi ada di daerah NTT yakni 2194 jiwa, sedangkan di Jawa
Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur sebesar 196 jiwa. ( Piogama, 2016)
Hampir
di setiap sudut kota kita dapat jumpai depot air minum isi ulang. Data yang
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kota Makassar, mengenai jumlah kepemilikan depot
air minum isi ulang (AMIU) yang terdaftar sampai dengan tahun 2014 sebanyak
1462 depot. Produk air minum isi ulang belakangan ini menjadi perhatian khusus
Dinas Kesehatan setempat. Dinas Kesehatan menghimbau warga untuk mewaspadai
mengkonsumsi air minum isi ulang tersebut.
Maraknya air minum isi ulang tersebut dengan bahaya kesehatan yang dapat
di timbulkan menunjukkan betapa besarnya jangkauan dan sulitnya dilakukan
pengawasan. Telah ditekankan dalam Permenkes No 492/MENKES/IV/2010, tentang
pengawasan air minum, bahwa pengawasan harus dilakuakan oleh Dinas Kesehatan.
Berdasarkan
literatur yang ada, standar kesehatan yang perlu diperhatikan mencakup beberapa
aspek, Antara lain aspek prasarana, sumber daya manusia (SDM), proses
pegelolahan dan produk yang dihasilkan serta aspek fisik, aspek kimiawi, dan
bakteriologi. Hal ini yang menjadi landasan motivasi penulis untuk melakukan
penelitan tentang Kualitas Air Minum Isi Ulang (AMIU) di Jalan Abdul Kadir
Kecamatan Tamalate Kota Makassar.
ALAT
DAN BAHAN
Jenis penelitian ini adalah penelitian observasional
dengan pendekatan deskriptif untuk memperoleh informasi tentang kualitas Air
minum Isi Ulang di Jalan Abdul Kadir Kecamatan kota Makassar melalui pemeriksaan di
labolatorium yang dilaksanakan di Jalan
Abdul Kadir Kecamatan Tamalate Kota Makassar,dengan metode pengambilan sampel yang digunakan adalah metode
Total sampling sebanyak 6 sampel
uji.
Intrumen dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1.
Bahan dan
Alat Pengambilan sampel air minum isi ulang
a. Terbuat dari bahan yang tidak terpengaruh sifat contoh
(misalnya untuk keperluan pemeriksaan logam, alat pengambil contoh tidak
terbuat daru logam)
b. Mudah dicuci dari bekas sampel sebelumnya.
c. Contoh mudah dipindahkan ke dalam botol penampung/wadah
penyimpan tanpa ada sisa bahan tersuspensi didalamnya.
d. Kapasitas alat 1-5 liter, tergantung dari maksud
pemeriksaan
e. Mudah dan aman dibawa.
2. Jenis Unit Pengambil sampel
a. Alat pengambil contoh sederhana, berupa botol biasa atau
ember plastik yg digunakan pd permukaan air secara langsung.
b. Alat (botol) harus dibilas sebelum pengambilan sampel
c. Ambil sesuai dengan keperluan
d. Bila sampel diambil beberapa titik, volume sampel harus
sama.
e. Celupkan botol kedalam air atau langsung di tempat
keluarnya (kran) air
f. Isi botol sampai penuh (jangan ada gelembung udara)
g. Alat pengambil contoh otomatis yg dilengkapi dgn alat
pengatur waktu dan volume contoh air yg akan diambil.
3. Pengawetan sampel air
Pengawetan sampel air adalah usaha untuk menghambat
perubahan komposisi zat-zat tertentu yg ada di suatu sampel. Oleh karena itu
meski sampel sudah diawetkan, pengujian terhadap parameter harus segera
dilakukan agar hasil mencerminkan keadaan sampel pada waktu diambil.
4.
Pengujian
Parameter Fisik
a. Suhu
Sampel diukur dengan menggunkan metode elektrometrik, alat
pendeteksi tersebut dihidupkan kemudian didiamkan bebera menit hingga
menunjukkan konstan
b. Kekeruhan
Pengujian kekeruhan dengan menggunakan paintest, sampel
dimasukkan dalam kuvet absorpasi, paintest dihidupkan dan hasilnya akan
terlihat pada layar paintest nilai turbidity sampel.
c. Warna.
Pengujian warna
dengan menggunakan paintest, sampel dimasukkan dalam kuvet absorpasi, paintest
dihidupkan dan hasilnya akan terlihat pada layar paintest nilai warna sampel.
d. Total zat terlarut
Sampel diukur dengan menggunkan metode elektrometrik,
alat pendeteksi tersebut dihidupkan kemudian didiamkan bebera menit hingga
menunjukkan konstan.
e. Rasa dan Bau.
Pengujian rasa dan bau dengan menggunakan metode
organleptik.
5.
Pengujian
Parameter Kimia.
a. pH
Pengujian kekeruhan dengan menggunakan colorimeter,
sampel dimasukkan dalam kuvet absorpasi, colorimeter dihidupkan dan hasilnya
akan terlihat pada layar colorimeter nilai pH sampel.
b. Besi (Fe)
Pengujian besi dengan menggunakan colorimeter, sampel
dimasukkan dalam kuvet absorpasi, colorimeter dihidupkan dan hasilnya akan
terlihat pada layar colorimeter nilai besi sampel.
6.
Pemeriksaan
Parameter Bakteriologis
a.
Prosedur tes
1) Untuk setiap sampel air, gunakan tabung 10 ml dan/atau 1
ml (9 + 1 ml).
2) Beri label dengan nomor sempel pada tiap tabung, cacat
tanggal, nama, tempat dan volume sampel pada lembaran catatan sampel.
3) Jika sampel air yang diambil berasal dari sumber yang
diberi kaporit, tarolah air tersebut didalam botol steril ( volume 120 – 150 ml
) yang berisi 0,1 ml larutan 3 % sodium thiosulfat (Na2S2O3).
Larutan ini untuk menetralkan chloor didalam air dan harus ditambahkan sebelum
botol sampel disterilkan
4) Didalam labolatorium, gunkan tabung gelas ukuran skala
yang steril untuk menkar volume air yang diperlukan sebelum di tuangkan kedalam
botol berisi media kertas H2S atau tuangkan sampel air itu dengan
hati – hati kedalam tabung media kertas H2S sampai pada garis tada
volume 10 ml. Pada cara ini, leher botol sampel air harus di apikan sebelum
dituangkan.
5) Jika sampel air berasal dari sumur, mata air, sungai,
parit, dan lain-lain, bilaslah wadah pengambil paling tidak tiga kali didalam
air yang akan diambil. Untuk memudahkan pemindahan sampel dari wadah besar
kedalam tabung 10 ml dan 1 ml, tuangkan air dari wadah kedalam gelas yang sudah
disterilkan dengan cara menuangkan air mendidih kedalamnya dan biarkan 2–3
menit. Buang air mendidih itu dan masukkan sampel air serta ikuti prosedur sama
untuk kran.
6) Periksalah sampel-sampel itu setiap hari sampai tiga hari
pada jam yang sama. Jika terjadi warna hitam atau gelap pada kertas didalam
sampel air, maka hasil tes positif.
b.
Pencatatan
dan hasil tes
1) Jika botol tes H2S 100 ml menjadi positif (berwarna
hitam), menunjukkan adanya paling sedikit satu bakteri indikator per 100 ml.
Namun bila penghitaman terjadi sangat cepat dan intestif (< 24 jam),
menunjukkan kehadiran bakteri indikator dalam jumlah yang lebih besar.
2) Jika botol tes H2S 20 ml menjadi positif (berwarna
hitam), menunjukkan adanya paling sedikit lima bakteri indikator per 100 ml.
Namun bila penghitaman terjadi sangat cepat dan intestif (< 24 jam),
menunjukkan bahwa ada > 50 bakteri indikator per 100 ml sampel air.
3) Jika tabung H2S
10 ml menjadi positif (berwarna hitam), menunjukkan adanya paling sedikit
sepuluh bakteri indikator per 100 ml. Namun bila penghitaman terjadi sangat
cepat dan intestif (< 18 jam), menunjukkan bahwa adanya bakteri indikator
dalam jumlah yang lebih besar.
4) Jika tabung 1 ml menjadi positif (berwarna hitam),
menunjukkan adanya paling sedikit seratus bakteri indikator per 100 ml. Namun
bila penghitaman terjadi sangat cepat dan intestif (< 18 jam), menunjukkan
bahwa adanya bakteri indikator dalam jumlah yang lebih besar > 200 per 100
ml.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilaksanakan di Jalan Abdul Kadir Kecamatan
Tamalate Kota Makassar selama 30 hari mulai pada tanggal 14 Maret sampai 14
April 2016, dengan mengambil 6 sampel Depot Air Minum Isi Ulang.
Data yang diolah dan dianalisis disesuaikan dengan tujuan penelitian. Hasil
analisis data disajikan dalam bentuk tabel yang dilengkapi dengan penjelasan
sebagai berikut :
Tabel
1. Distribusi Pemeriksaan Proses Air Minum Isi Ulang Di
Jalan Abdul Kadir Kecamatan
Tamalate Kota Makassar Tahun 2016.
Depot AMIU
|
Proses pengolahan
Air Minum Isi Ulang
|
Air Baku
|
Keterangan
|
|||
Filtrasi
|
UV
|
Ozonasi
|
RO
|
|||
AT
QM
MR
NT
HW
AD
|
P
P
P
P
P
P
|
P
P
P
P
P
P
|
P
P
P
P
P
P
|
P
P
P
P
P
P
|
Pegunungan
Pegunungan
Pegunungan
Pegunungan
Pegunungan
P A M
|
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
|
Sumber
: Data Primer, 2016
Tabel 1 Menunjukkan bahwa, dari 6 sampel pemeriksaan proses
pegolahan air minum isi ulang dinyatakan memenuhi syarat dengan jenis proses
pegolahan air minum isi ulang secara Filtrasi, Ultra Violet, Ozonasasi,
Reversed Osmosis.
Tabel
2. Distribusi Hasil Pemeriksaan Proses Air
Minum Isi Ulang Di Jalan Abdul Kadir Kecamatan Tamalate Kota
Makassar Tahun 2016.
Proses pengolahan
|
N
|
Persentase
|
Memenuhi syarat
Tidak memenuhi syarat
|
6
0
|
100,0
0
|
Jumlah
|
6
|
100,0
|
Sumber : Data Primer, 2016.
Tabel 2 menunjukkan bahwa dari 6 sampel pemeriksaan proses
pengolahan air minum isi ulang yang memenuhi syarat sebanyak 100,0% dan yang
tidak memenuhi syarat 0%.
Tabel
3. Distribusi Hasil Pemeriksaan Sampel Air
Minum Isi Ulang (AMIU) Berdasarkan Parameter MPN Coli Di Jalan Abdul Kadir
Kecamatan Tamalate Kota
Makassar Tahun 2016.
Depot AMIU
|
ml Sampel
|
Standar/Sampel
|
Keterangan
|
AT
QM
MR
NT
HW
AD
|
70
0
0
0
0
0
|
0/100 ml 0/100 ml 0/100 ml 0/100 ml
0/100 ml
0/100 ml
|
Tidak Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
Layak
|
Sumber : Data Primer 2016.
Tabel 3 Menenunjukkan bahwa, dari 6 sampel
pemeriksaan parameter MPN coli air minum isi ulang ada 1 sampel yang tidak
memenuhi syarat dengan kadar 70/100 ml sampel
dan 5 sampel memenuhi syarat dengan kadar 0/100 ml sampel karna sesuai
dengan standar maksimum 0/100 ml sampel.
Tabel 3 Menenunjukkan bahwa, dari 6 sampel pemeriksaan parameter
MPN coli air minum isi ulang ada 1 sampel yang tidak memenuhi syarat dengan
kadar 70/100 ml sampel dan 5 sampel
memenuhi syarat dengan kadar 0/100 ml sampel karna sesuai dengan standar maksimum 0/100 ml sampel.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil pemeriksaan di labolatorium
menunjukkan bahwa dari 6 sampel depot air minum isi ulang yang ada di Jalan
Abdul Kadir Kecamatan Kota Makassar
Tahun 2016 ada satu sampel yang tidak memenuhi syarat dengan kadar bakteri coli
70 jml/100 ml, kadar ini tidak sesuai dengan standar PERMENKES RI No
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang syarat-syarat dan pengawasan air minum adalah
0/100 ml sampel. Lima sampel memenuhi syarat dengan kadar 0 karna sesuai dengan standar PERMENKES RI No
492/MENKES/PER/IV/2010 tentang syarat-syarat dan pengawasan air minum dengan
kadar maksimum 0/100 ml sampel.
Hasil
penelitian ini sama dengan penelitian yang dilakukan Danandoyo (2005) di Depot
Air Minum Isi Ulang Kecamatan Jebres kota surakarta menunjukkan bahwa 4 dari 12
depot air minum isi ulang terdapat bakteri coliform,
yaitu depot AR terdapat coliform 7,56
per 100 ml, depot AA terdapat coliform 4,26
per 100 ml, depot GS terdapat coliform
7,56 per 100 ml dan depot RD terdapat
coliform 2,06 per 100 ml, kadar ini tidak sesuai dengan standar PERMENKES RI No 492/MENKES/PER/IV/2010
tentang syarat-syarat dan pengawasan air minum adalah 0/100 ml sampel.
Bakteri Coli merupakan parameter mikrobiologis
yang terpenting untuk mengukur kualitas air minum. Kelompok bakteri ini terdiri
atas Eschericia coli, Entrerobacter
aerogenes, Antrobacter fruendi, dan bakteri lainya. Bakteri yang bisa
ditemukan pada kotoron manusia ini ada yang secara langsung menimbulkan
penyakit namun ada juga tidak secara langsung menimbulkan penyakit tertentu.
Keberdaan bakteri ini dalam air minum isi ulang yang ada didepot yang
tidak memenuhi syarat disebabkan karena rendahnya
tingkat sanitasi, proses pengolahan
yang kurang diperhatikan hingga menyebabkan terjadinya kerusakan pada permukaan sel. Terjadinya
kerusakan ini menyebabkan timbulnya jenis mikroba dalam air.
Semakin tinggi tingkat kontaminasi bakteri coli, semakin
tinggi pula tigkat resiko kehadiran bakteri-bakteri patogen lain yang hidup
dalam kotoran tinja manusia dan hewan. Salah satu jenis bakteri coli yang dapat
menyebabkan gejala diare, demam, kram perut dan muntah adalah Sigella. Bakteri lain seperti Eschericia coli yang bersifat patogen
bisa menyebabkan diare berdarah, mual, dan demam.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitin dan pemeriksaan sampel air
minum isi ulang (AMIU) di Jalan Abdul Kadir Kecamatan Tamalate Kota Makassar
Tahun 2016, maka dapat disimpulkan bahwa :
1. Kualitas air minum isi ulang berdasarkan proses pegolahan
air minum isi ulang untuk 6 depot air minum isi ulang memenuhi syarat di Jalan
Abdul Kadir Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2016
2. Kualitas air minum isi ulang berdasarkan parameter fisik
untuk 6 depot air minum isi ulang memenuhi syarat sesuai dengan PERMENKES RI NO
492/MENKES/PER/IV/2010 di Jalan Abdul Kadir Kecamatan Tamalate Kota Makassar
Tahun 2016.
3. Kualitas air minum isi ulang berdasarkan parameter kimia
untuk semua 6 depot air minum isi ulang memenuhi syarat sesuai dengan PERMENKES
RI NO 492/MENKES/PER/IV/2010 di Jalan Abdul Kadir Kecamatan Tamalate Kota
Makassar Tahun 2016.
4. Kualitas air minum isi ulang berdasarkan parameter
biologis untuk 6 depot air minum isi ulang ada satu depot yang tidak memenuhi
syarat dan lima depot memenuhi syarat sesuai dengan PERMENKES RI NO
492/MENKES/IV/2010 di Jalan Abdul Kadir Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun
2016 sehingga disarankan kepala pemilik depot air minum isi ulang di Jalan
Abdul Kadir Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2016 agar lebih meningkatkan
kualitas air minum isi ulang yang diproduksi baik secara proses pengolahan,
parameter fisik, parameter kimia, parameter biologis dan radioaktif sehingga
tidak melebihi kadar maksimum yang diperbolehkan.
DAFTAR
RUJUKAN
AMPL, DIGILIP, 2016. Yakin Air minum Anda Tak Tercemar.
(online),(http://www.localhos/air%20anda%20tercemar.htm, di akses net, Sabtu 2 Mei 2016)
Anonymous. 2016. Diktat
Penuntun Praktikum Kimia Anorganik. Malang: UMM, (online), (http://google.com/polusi air. di akses
net, Senin 4 Mei 2016)
Darussalam, 2007. Studi Kualitas Air Minum Isi Ulang.
Jurusan Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia Timur. Skripsi tidak diterbitkan,
Makassar.
Ditjen PPM-PL, Depkes RI, 2009. Jumlah Penderita Dan
Kematian Diare Pada Kejadian Luar Biasa Menurut Provinsi Di Indonesia Tahun
2001, 2007 dan 2008.
Daud, Anwar dan Rosman. 2002. Aspek Kesehatan Penyediaan
Air Bersih. Jurusan Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat,
Universitas Hasanuddin, Makassar.
GENEVA, 2010. WHO:17 Penyakit Tropis Terabaikan. Harian
Kompas. Jumat, 15 Oktober 2010, Halaman 13.
Gunadi, 2014. 7 Kecematan Bersanitasi Buruk, (online), (http://www.localhos/sanitsai%20buruk.htm, di akses net, Senin 4 Mei 2016).
Haryanto, Budi, 2016. Air Minum Penunjang Kesehatan.
(online), (http://www.lokal/sanitasi%20buruk.htm, di akses net, Senin 4 Mei 2016).
Kalimaya, Tirta, 2016. Tirta Mandiri Usaha Air Minum Isi
Ulang Kulitas Tinggi Teknologi Reversi Osmosis-Hexagonal, (Online). (http://www.digilib.unnes.ac.id/../doc.pdf. di akses net, Rabu 6 Mei 2016).
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.492
Tahun 2010 Tentang Syarat-syarat Dan Pengawasan Air Minum, 2010. Jakarta :
Menteri Kesehatan Republik Indonesia.
Latuconsina, Luhry, 2005. Studi Kualitas Air Minum Isi
Ulang, Jurusan Kesehatan Lingkungan, Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas
Indonesia Timur. Skiripsi tidak diterbitkan, Makassar.
Muntu, Roni. 2003. Dasar-dasar Kesehatan Lingkungan.
Dapertemen Kesehatan RI, Politeknik Kesehatan Jurusan Kesehatan Lingkungan.
Perhimpunan Rumah Sakit Indonesia, 2009. Hati-Hati,
Banyak Depot Air Minum Isi Ulang Tak Terdaftar. (online), (http://www.pdpersi.co.id/?show=detailnews&kode=3818&tbl=cakrawala, Di Input Net Selasa 5 Mei 2016)
Sutrisno, Toto, dkk, 2002. Teknologi Penyediaan Air
Bersih, Reneka Cipta, Jakarta.
Slamet, Juli Soemirat, 2005, Kesehatan
Lingkungan. Gajah Mada University Press, Yogyakarta.
Suripin, IR, 2004. Pelestarian Sumber Daya Tanah Dan Air,
Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Suprihatin, 2014. Keamanan Air Minum Isi Ulang. (online), (http://www.intisari.com, diakses net, 2 Mei 2016).
Wardana, arya, wisnu. 2004. Dampak Pencemaran Lingkungan,
Penerbit Andi Offset, Yogyakarta.
Zuhri, Shofyan, 2016. Pemeriksaan Mikrobiologis Air Minum
Isi Ulang. (online), (http://www.Pemeriksaan Bateriologi Air.com. di akses net 2 Mei 2016).
PENGARUH PENAMBAHAN EKSTRAK KHAMIR TERHADAP AKTIVITAS
ANTIBAKTERI ISOLAT FUNGI ENDOFIT GENUS PAECILOMYCES DARI KULIT BUAH KAKAO
(Theobroma cacao L.)
ASNURBAETY DWIYANA
ABSTRACT
A research about the effect
of yeast extract addition on the antibacterial activity of endophytic fungi
Paecilomyces genus from cacao pod husk (Theobroma
cacao L.) has been conducted. The purpose of this research was to know the
effect of adding yeast extract on the antibacterial activity produced by
endophytic fungi of cacao pod husk. Isolate of endophytic fungi fermented in Potato
Dextrose Broth (PDB) medium with the
addition of yeast extract 0.25% w/v, 0.5% w/v, 1% w/v, 2% w/v, on a rotary
shaker at 150 rpm for 7 days and then centrifuged at 3000 rpm for 15 minutes.
The antibacterial activity of
supernatant was determined by measuring the growth inhibition of pathogenic
bacteria Streptococcus mutans with
agar diffusion method using paper disc for 24 hours incubation. The inhibition
zone of negative control and sample with the addition of yeast extract 0.25%
w/v, 0.5% w/v, 1% w/v, 2% w/v to S.
mutans were 7.2 mm, 7.3 mm, 7.7 mm, 8.0 mm, and 8.4 mm, respectively. These results indicated that yeast extract
addition 1% w/v and 2% w/v have the most significantly influence toward
antibacterial activity effect of endophytic fungi Paecilomyces genus.
PENDAHULUAN
Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara terbesar akan keanekaragaman hayatinya dan
sangat potensial dalam mengembangkan obat herbal yang berbasis pada tanaman
obat. Tanaman sebagai sumber bahan baku obat yang tak ternilai harganya, perlu
terus menerus mendapat perhatian. Eksploitasi tanaman obat yang berlebihan
tanpa memperhatikan upaya konservasinya tentu sangat mengkhawatirkan. Peran
para ahli budidaya tanaman dan para ahli bioteknologi sangat penting untuk
menghindari kelangkaan bahan baku obat herbal yang sampai saat ini masih
diambil dari tanaman aslinya secara konvensional.
Pada
umumnya untuk mengambil senyawa bioaktif secara langsung dari tanamannya
dibutuhkan sangat banyak biomassa atau bagian dari tanamannya. Untuk
mengefisienkan cara memperoleh senyawa bioaktif tersebut, maka digunakan
mikroba endofit yang diperoleh dari bagian dalam tanaman yang diharapkan mampu
menghasilkan sejumlah senyawa bioaktif yang dibutuhkan tanpa harus mengekstrak
dari tanamannya.
Mikroba
endofit yang terdapat di berbagai jaringan tanaman merupakan organisme hidup
yang berukuran mikroskopik (bakteri dan jamur) yang hidup di dalam jaringan
tanaman, daun, akar, buah, dan batang. Mikroba ini hidup bersimbiosis saling
menguntungkan dengan tanaman inangnya. Setiap
tanaman tingkat tinggi dapat mengandung beberapa mikroba endofit yang mampu
menghasilkan senyawa biologi atau metabolit sekunder yang diduga sebagai akibat
koevolusi atau transfer genetik (genetic recombination) dari tanaman inangnya
ke dalam mikroba endofit.
Salah satu tanaman
yang memiliki fungi endofit adalah tanaman coklat atau tanaman kakao (Theobroma cacao L.), suku Sterculiaceae
yang merupakan suatu jenis tanaman hutan hujan tropis. Tanaman kakao bersifat
antimikroba terhadap beberapa bakteri patogen dan kariogenik, juga berkhasiat
sebagai antioksidan, mencegah penyakit-penyakit degeneratif utamanya penyakit
kardiovaskuler, kanker, dan antivirus. Selain manfaat di atas, fungi endofit
yang terdapat dalam tanaman kakao berpotensi menghasilkan senyawa antimikroba.
Hasil
penelitian Fatima N. I., diperoleh 4 isolat fungi endofit dalam kulit buah
kakao dan 3 diantaranya memiliki efek antimikroba, yaitu spesies Acremonium sp., Beauveria sp., dan Aspergillus
sp. Hasil penelitian Sartini, juga diperoleh isolat fungi endofit dari tanaman
kakao yaitu genus Paecilomyces yang berpotensi sebagai antimikroba.
Pada
proses fermentasi mikroorganisme, pemilihan medium yang tepat sangat penting
terhadap kesuksesan industri fermentasi. Medium menyediakan nutrisi untuk
pertumbuhan, energi, zat pembangun sel, dan substrat biosintesis produk
fermentasi. Medium yang digunakan untuk menumbuhkan fungi mengandung sumber
karbon (umumnya glukosa), sumber nitrogen (umumnya amonia atau nitrat terkadang
asam amino), fosfat, sulfat, magnesium, potasium, dan unsur mikro seperti besi,
mangan, zink, tembaga. Mikroba endofit di dalam medium fermentasi,
umumnya dapat menghasilkan metabolit sekunder yang analog seperti tanaman
inangnya dengan bantuan aktivitas suatu enzim.
Mikroba endofit dapat
menghasilkan enzim, jika sumber nitrogen
cukup tersedia di dalam media, sedangkan pada media yang digunakan yaitu Potato
Dekstrosa Broth (PDB) tidak diperoleh sumber nitrogen, sehingga perlu
penambahan sumber nitrogen dari luar antara lain dari ekstrak khamir. Ekstrak khamir mengandung asam amino, vitamin, peptida dan polipeptida.
Permasalahannya
adalah apakah penambahan ekstrak khamir dalam media
PDB dapat mempengaruhi aktivitas antibakteri isolat fungi
endofit genus Paecilomyces dari tanaman kakao (Theobroma cacao L.). Penelitian
ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh penambahan
ekstrak khamir terhadap aktivitas
antibakteri yang dihasilkan oleh isolat fungi endofit genus Paecilomyces dari
tanaman kakao (Theobroma cacao L.).
ALAT DAN BAHAN
Alat-alat
yang digunakan adalah autoklaf (All American Model 25x-2), cawan petri, enkas,
inkubator (WTB Binder), jangka sorong, LAF (Laminar Air Flow) (Envirco), lemari
pendingin, mikropipet (Nesco), oven (Memmert), shaker inkubator, sentrifuge
(model DKC-1006T), tabung sentrifuge, timbangan analitik, tip.
Bahan-bahan
yang digunakan adalah aquadest, amoxicilin, biakan Streptococcus
mutans, ekstrak khamir, isolat kulit buah
kakao genus Paecilomyces ( Koleksi Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Farmasi
Universitas Hasanuddin Makassar), kertas cakram, medium Nutrien Agar (NA),
Muller Hinton Agar (MHA), Potato Dekstrosa Agar (PDA), Potato Dekstrosa Broth
(PDB).
Penyiapan Kultur Fungi Endofit
1.
Peremajaan
Fungi
Dibuat medium Potato Dekstrosa Agar
(PDA) dalam bentuk agar miring. Kemudian fungi endofit yang telah didapatkan
pada penelitian sebelumnya, diinokulasi pada media agar miring. Diinkubasi
selama 3 x 24 jam pada suhu 25 oC.
2.
Produksi
Metabolit Sekunder dari Fungi Endofit
Dalam media Potato Dekstrosa Broth (PDB)
ditambahkan ekstrak khamir dalam beberapa konsentrasi yaitu 0,25% b/v, 0,5%
b/v, 1% b/v, 2% b/v, dan kontrol tanpa ekstrak khamir, lalu Isolat fungi
endofit yang telah diremajakan, diinokulasi ke dalam media PDY (Potato
Dekstrosa Broth + ekstrak khamir) dan difermentasi pada shaker putar dengan
kecepatan 150 rpm selama 7 hari. Hasil fermentasi disentrifugasi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 15 menit. Dipisahkan supernatan dan endapan berupa
massa sel. Supernatan hasil fermentasi diteteskan ke atas kertas cakram
sebanyak 20 µl, didiamkan hingga kering dan digunakan untuk uji aktivitas
antibakteri.
Uji Aktivitas Antibakteri
1.
Penyiapan
Bakteri Uji
Bakteri uji yang akan digunakan
diremajakan dahulu dengan cara : 1 ose mikroba uji Streptococcus mutans digoreskan pada medium Nutrien Agar (NA), kemudian diinkubasi selama
1 x 24 jam pada suhu 37 oC. Setelah masa inkubasi, bakteri uji
dipanen dengan penambahan larutan NaCl fisiologis.
2.
Uji
Aktivitas Antibakteri dengan Metode Difusi Agar
Media uji yang digunakan
adalah media Muller Hinton Agar (MHA) untuk uji Aktivitas antibakteri. Ke dalam
media MHA diinokulasikan bakteri uji
sebanyak 0,2 ml kemudian dihomogenkan dan dibiarkan memadat. Supernatan dari
hasil fermentasi dipipet sebanyak 20 µl diteteskan ke atas kertas cakram lalu
dikeringkan dan diletakkan di atas media uji yang mengandung larutan uji.
Kemudian diinkubasi selama 1 x 24 jam pada suhu 37 oC. Zona hambatan
yang terbentuk setelah masa inkubasi diukur diameternya.
Uji
Kualitatif Metabolit Sekunder Dari Fungi Endofit
Supernatan dari hasil fermentasi yaitu
kontrol tanpa ekstrak khamir dan penambahan ekstrak khamir serta ekstrak
metanol kulit buah kakao, masing-masing diuji dengan Kromatografi Lapis Tipis
(KLT). Sampel tersebut terlebih dahulu diuapkan, lalu dilarutkan dalam metanol,
kemudian ditotolkan pada lempeng KLT silika
gel 60 F254 dengan menggunakan pipa kapiler. Selanjutnya sampel
dikromatografi di dalam wadah yang telah dijenuhkan dengan eluen metanol hingga
mencapai batas lempeng KLT, angkat dan keringkan, kemudian diamati di bawah
sinar UV 254 nm dan 366 nm, jika terlihat noda, noda tersebut diberi tanda
dengan pensil dan dihitung nilai Rfnya, kemudian disemprot dengan berbagai
pereaksi semprot seperti H2SO4, Lieberman Bouchard, FeCl3,
dan Sitroborat untuk mengetahui jenis senyawa yang dihasilkan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan
hasil penambahan ekstrak khamir diperoleh hasil fermentasi yang memiliki efek
antibakteri terhadap mikroba uji yaitu :
Tabel 1.
Hasil pengukuran diameter daerah hambat (aktivitas antibakteri) hasil
fermentasi isolat fungi endofit genus Paecilomyces yang disertai penambahan
ekstrak khamir terhadap Streptococcus
mutans.
Hasil
Fermentasi
|
Diameter
Daerah Hambat (mm)
|
|
Streptococcus mutans.
|
||
Nilai
|
Rata-Rata
|
|
Tanpa
penambahan ekstrak khamir
|
7,0
|
7,2
|
7,4
|
||
7,4
|
||
Penambahan
ekstrak khamir sebanyak 0,25%b/v
|
7,4
|
7,3
|
7,1
|
||
7,5
|
||
Penambahan
ekstrak khamir sebanyak 0,5%b/v
|
7,6
|
7,7
|
7,7
|
||
7,9
|
||
Penambahan
ekstrak khamir sebanyak 1%b/v
|
7,9
|
8,0
|
8,0
|
||
8,1
|
||
Penambahan
ekstrak khamir sebanyak 2%b/v
|
8,4
|
8,4
|
8,5
|
||
8,4
|
Sumber : Data Primer, 2016
PEMBAHASAN
Pada
penelitian ini dilakukan pengujian tentang pengaruh penambahan ekstrak khamir
terhadap aktivitas antibakteri isolat fungi endofit genus Paecilomyces dari
kulit buah kakao terhadap bakteri uji Streptococcus
mutans.
Isolat
fungi endofit (gambar 1) terlebih dahulu diremajakan dan diinkubasi, kemudian
difermentasi ke dalam medium PDB dengan penambahan ekstrak khamir yang
berbeda-beda yaitu tanpa penambahan ekstrak khamir dan dengan penambahan
ekstrak khamir sebanyak 0,25% b/v, 0,5% b/v, 1% b/v, dan 2% b/v. Hasil
fermentasi (gambar 2) selanjutnya disentrifugasi dan diambil supernatannya
untuk diuji analisis kualitatifnya dengan metode kromatografi lapis tipis (KLT)
(gambar 3) dan diuji aktivitas antibakterinya dengan metode difusi kertas
cakram menggunakan mikroba S. mutans.
Analisis
kualitatif dengan cara KLT menggunakan pereaksi semprot sitroborat memberikan
hasil positif terhadap flavonoid yaitu terlihat noda yang lebih berpendar
kuning di bawah sinar UV 366 nm dibandingkan saat noda dilihat di bawah sinar
UV 366 nm sebelum disemprot dengan pereaksi sitroborat (gambar 4a dan 4b). Kulit buah kakao mengandung pigmen kakao (campuran dari flavonoid
terpolimerasi atau terkondensasi meliputi antosianidin, katekin,
leukoantosianidin).
Supernatan
yang diuji aktivitas antibakterinya memberikan efek penghambatan terhadap S. mutans dan efek tersebut semakin
meningkat sebanding dengan peningkatan konsentrasi ekstrak khamir yang
ditambahkan (gambar 5). Hal ini disebabkan ekstrak khamir yang digunakan
merupakan sumber nitrogen yang mengandung asam amino, peptida, dan polipeptida
hasil pecahan ikatan peptida secara enzimatik di dalam khamir, vitamin, dan
sebagai sumber nutrisi di dalam medium mikrobiologi yang akan membantu pembentukan enzim dalam menghasilkan metabolit sekunder. Ekstrak khamir juga
memiliki total nitrogen sebanyak 10,70 % dan amino nitrogen 5,40%.
Hasil uji aktivitas antibakteri menghasilkan diameter
hambatan berturut-turut
sebesar 7,2 mm, 7,3 mm, 7,7 mm, 8,0 mm, dan 8,4 mm. Adanya efek penghambatan
diduga terjadi karena isolat fungi endofit yang berasal dari kulit buah kakao
menghasilkan metabolit sekunder yang analog dengan tanaman inangnya berupa
flavonoid. Flavonoid mempunyai aktivitas antibakteri karena kemampuannya membentuk
kompleks dengan ekstraselular dan protein dari dinding sel bakteri. Salah
satu flavonoid yang dikandung oleh kulit buah kakao yaitu katekin yang
mempunyai aktivitas antibakteri terhadap S.
mutans. Katekin akan menginaktifkan toksin kolera dan menghambat enzim
glucosyltransferase dalam S.mutans.
Hasil
analisis statistika dengan menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL)
diperoleh F hitung sebesar 23,33. Karena F hitung lebih besar dari F tabel pada
taraf 1%, maka terlihat perbedaan yang sangat signifikan dari penambahan
ekstrak khamir terhadap diameter daerah hambat. Analisis lanjutan dengan
menggunakan Uji Beda Nyata Jujur (BNJ) menunjukkan bahwa penambahan ekstrak khamir pada konsentrasi 0,5% b/v memiliki pengaruh
signifikan terhadap aktivitas
antibakteri dari isolat fungi endofit genus Paecilomyces sedangkan konsentrasi ekstrak khamir 1% b/v dan 2% b/v
berpengaruh sangat signifikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil
penelitian dan analisis statistik yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa penambahan ekstrak khamir pada konsentrasi 0,5% b/v memiliki pengaruh
signifikan terhadap aktivitas
antibakteri dari isolat fungi endofit genus Paecilomyces sedangkan konsentrasi ekstrak khamir 1% b/v dan 2% b/v
berpengaruh sangat signifikan. Oleh Karena Itu, disarankan
kepada peneliti selanjutnya mengenai variasi media dan kondisi fermentasi
untuk memproduksi senyawa antibakteri dari isolat fungi endofit genus
Paecilomyces dan mengenai aktivitas antibakteri dari massa
sel hasil fermentasi isolat fungi endofit genus Paecilomyces.
DAFTAR RUJUKAN
Azizah
Nur. Uji Efek Antibakteri dari Ekstrak Aseton dan Etanol Kulit Buah Kakao (Theobroma
cacao L.). Skripsi Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin. Makassar. 2008. Hal 2.
Brooks, G. F., Butel, S J.,
Morse, S. A. Mikrobiologi Kedokteran. Terjemahan oleh Bagian Farmakologi
FK-UNAIR. 2005. Penerbit Salemba Medika, Jakarta. 2001. Hal 8, 224
Casida Jr. L.
E. Industrial Microbiology. John wiley and sons.inc, New York. 1968. Hal
5, 7-8, 55, 100-113,117, 219.
Campbell N. A. dkk. Biologi. Terjemahan oleh Prof. Dr. Ir.
Wasmen Manalu. Penerbit Erlangga. Jakarta. 2000. Hal 185.
Djide N. dan Sartini. Mikrobiologi Farmasi Dasar. Laboratorium
Mikrobiologi Farmasi Fakultas Farmasi. Makassar. 1996. Hal 41-44.
Difco
Laboratories. Difco manual 11th edition. Divisin of Becton Dickinson
and Company. Sparks, Maryland-USA. 1998.
Djide N. dan
Sartini. Dasar-Dasar Bioteknologi Farmasi.
Laboratorium Mikrobiologi Farmasi Fakultas Farmasi. Makassar. 1996. Hal
303-304.
Fatima N I. Skrining
Awal Fungi Endofit Kulit Buah Kakao
(Theobroma cacao L.) sebagai Penghasil Bahan Baku Antimikroba. Skripsi Fakultas Farmasi Universitas
Hasanuddin. Makassar. 2008. Hal 2, 35.
Fardiaz, S.. Fisiologi
Fermentasi. Lembaga sumber daya informasi – IPB. Bogor. 1988. Hal 79,
105-107
Fitrawan M. Isolasi
Mikroba Endofitik Penghasil Antibiotika dari Akar Rumput Belulang (Eleusine indica L.). Skripsi Fakultas Farmasi Universitas
Muslim Indonesia. Makassar. 2009. Hal 8.
Ganiswara,
G.S. Farmakologi dan Terapi edisi 4. FK-UI. Jakarta.1995. hal 571-573
Harborne
J. B. Metode Fitokimia. Penerbit ITB. Bandung. 1987. Hal 76
Mutchler,
E.. Dinamika Obat. Ed. 4. Penerbit ITB. Bandung. 1991. Hal 634-635.
Sartini dan
Natsir Hasnah. Seleksi Fungi Endofit dari Kulit Buah Kakao sebagai Penghasil
Enzim Polifenol Oksidase. Laporan Penelitian Fundamental. Lembaga Peneltian
Unhas. 2009.
Simarmata R.
Lekatompessy S. Sukiman H. Isolasi Mikroba Endofitik dari Tanaman Obat Sambung
Nyawa (Gynura procumbens) dan
Analisis Potensinya sebagai Antimikroba.
LIPI Cibinong. Bogor. 2005. Hal 85.
Sunanto H. Cokelat Budidaya, Pengolahan Hasil dan
Aspek Ekonominya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. 1992. Hal 13-15.
Pelczar,
M.J., dan Chan, E.C.S. Dasar-Dasar Mikrobiologi. jilid 2. diterjemahkan
oleh Hadioetomo R.S.. Universitas Indonesia Press. Jakarta.1988.
Sugijanto N. E., dkk. Isolasi
dan Determinasi berbagai Jamur Endofit dari Tanaman Aglaia elliptica, Aglaia eusideroxylon, Aglaia odorata, dan Aglaia odoratissima. Jurnal Penelitian
Medika Eksakta vol. 5 no. 2 Agustus 2004. Hal 136-139.
Strobel, G.
Daisy, B, Castillo, U. Natural Products from Endophytic microorganisms. Journal
of Natural Products. 2004. Vol. 67
no. 2
Steenis, van C.G.G.J. Flora. PT. Praditya Paramita. Jakarta.
2005. Hal 196.
Syarmalina
& Adeng F H. Endofit dan Pelestarian Alam.
[serial on the internet] 2008 [dikutip 15 januari 2010]. Available from : http://www.isfinational.or.id/
Radji M. Peranan
Bioteknologi dan Mikroba Endofit dalam Pengembangan Obat Herbal. Majalah Ilmu Kefarmasian. Desember 2005.
Vol II. No.3. Hal 113.
Rodiah binti M.H. Pengekstrakan dan Sifat-Sifat Ekstrak Yis
daripada
Candida utilis. Universitas Sains
Malaysia. 2007. Hal 20.
Rubini M. R. Silva-Riberio R.
T. Diversity of Endophytic Fungal
Community of Cacao (Theobroma cacao L.)
and Biological Control of Crinipellis Perniciosa, Causal Agent of Witches Broom
Disease. International J. of
Biological Science. 2005. Hal 1, 24-33.
Turner, W. B.
Fungal Metabolites. Academic Press. London and New York. 1971. Hal 16-18.
Tjitrosoepomo,
G. Taksonomi Tumbuhan (Spermatophyta). Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta. 2004. Hal 178.
Tropical Data Base. Chocolate (Theobroma cacao L.), Raintree
Nutrition, inc. Carson City. 1996.
Worang, R.L.
Fungi Endofit Sebagai Penghasil Antibiotika. Makalah Individu., Program
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 2003. hal. 2
IDENTIFIKASI JAMUR PADA PAKAIAN BEKAS YANG
DIJUAL
DI PASAR TODDOPULI KOTA MAKASSAR
DITAELLYANA ARTHA
ABSTRACT
Fungi are unicellular or multicellular organisms, which do not have chlorophyll so heterotrophic. Mushrooms can be easily grown in a moist, mold will grow more fertile again if cleanliness less intact. This situation often occurs in a collection of clothes used clothing imports are sold in the market. Wear old clothes or clothes that had been used by others, is very vulnerable to contracting skin diseases, particularly skin diseases caused by fungi. This study aims to identify the type of fungus anything contained in used clothing sold in markets Toddopuli Makassar, this kind of research is observational laboratory that is descriptive with a sample size of 10 (ten), a sampling technique that accidental sampling, the study was conducted in GG clinical laboratories. The results showed that of the 10 swab (swab) of used clothing sold in the market Toddopuli Makassar, found mildew on all the used clothing 100% with Aspergillus niger as much as 7 samples (70%) and Aspergillus fumigatus as much as 3 samples (30%). The conclusion of this study is all samples are found fungi. To consumers to be cautious in buying and wearing second-hand clothes are bought and sold everywhere.
Keywords: Identification, Mushroom Wear Used
PENDAHULUAN
Sejak masa reformasi atau sekitar
tahun 1997 yaitu saat krisis moneter,
pakaian-pakaian bekas masuk ke Indonesia, dan saat itulah masyarakat
Indonesia lebih memilih membeli pakaian bekas yang banyak dijual bebas
dimana-mana. Kemunculan pasar baju bekas ini tidak berjalan merata, pasar baju
bekas di Sumatera, Batam, Kalimantan dan Sulawesi misalnya, lebih dulu muncul
daripada di Jakarta, Bandung, Yogya, Surabaya dan sekitarnya (Hermawan, 2014).
Pakaian bekas saat ini menjadi
barang andalan diberbagai kalangan masyarakat. Mereka memilih barang-barang ini
dengan berbagai alasan, misalnya mereka menganggap barang impor tersebut
memiliki kualitas yang lebih bagus, atau mereka menganggap harga barang-barang
tersebut lebih terjangkau.
Barang-barang yang berkualitas yang
didatangkan langsung dari luar negeri ini membuat seluruh lapisan masyarakat
lebih memilih untuk menggunakannya. Apalagi barang tersebut ditawarkan dengan
harga yang murah (Hermawan, 2014).
Namun yang namanya pakaian bekas
tetap pakaian bekas. Pakaian yang telah dipakai oleh orang-orang sebelumnya
yang tidak jelas bagaimana kondisinya, apakah bersih atau terbebas dari segala
macam penyakit. Apalagi barang-barang tersebut didatangkan dari luar negeri
dimana yang kita ketahui bahwa pergaulan disana sangat bebas. Pada pakaian
bekas tersebut bisa saja terdapat berbagai bakteri maupun jamur yang berbahaya,
dan jika tidak hati-hati bisa saja pengguna pakaian bekas akan terkena berbagai
macam penyakit kulit.
Memakai pakaian bekas atau pakaian
yang pernah dipakai oleh orang lain, sangat rentan tertular berbagai jenis
penyakit kulit, khususnya penyakit kulit yang disebabkan oleh jamur. Karena
jamur yang menempel pada kulit seseorang bisa menempel pada pakaian yang
dipakainya, sehingga bila pakaian itu digunakan orang lain, tidak menutup
kemungkinan jamur tersebut akan menempel pada kulit orang lain yang mengenakan
pakaian tersebut (Hermawan, 2014).
Jamur merupakan organisme uniseluler
maupun multiseluler, umumnya berbentuk benang disebut hifa, hifa
bercabang-cabang membentuk bangunan seperti anyaman disebut miselium, dinding
sel mengandung kitin, eukariotik dan tidak berklorofil. Hidup secara heterotrof
dengan jalan saprofit (menguraikan sampah organik), parasit (merugikan
organisme lain), dan simbiosis. Habitat jamur secara umum terdapat di darat dan
tempat yang lembab.
Dialam terdapat sekitar 200.000
spesies jamur tetapi hanya sekitar 100 spesies yang bersifat patogen pada
manusia. Jamur bersifat aportinistik artinya dimana seseorang mudah terkena
penyakit tertentu, maka jamur yang memasuki tubuh dan mampu menimbulkan
kelainan-kelainan.
Untuk pertumbuhan jamur memerlukan
kondisi habitat yang mempunyai kelembaban tinggi, tersedianya bahan organik dan
tersedianya oksigen yang cukup untuk kelangsungan hidupnya. Negara Indonesia
sebagai negara tropis dan menjadi tempat yang subur untuk pertumbuhan jamur,
sehingga jamur banyak menjadi infeksi pada kulit dan kuku manusia sehingga
menyebabkan suatu penyakit (Widarti, 2010).
Pencemaran mikroba pada pakaian
bekas tersebut dapat menimbulkan penyakit yang berawal dari kontak langsung
dengan kulit atau lewat tangan manusia dari kontak awal ini kemudian membawa
infeksi yang masuk ke mulut, hidung dan mata.
ALAT
DAN BAHAN
Jenis penelitian yang dilakukan merupakan observasi
laboratorik yang bersifat deskriptif yaitu dengan melakukan uji laboratorium pada 10 sampel yang diambil dengan menggunakan metode Accidental Sampling.
Penelitian
ini telah dilakukan di Laboratorium Klinik GG Kota Makassar pada tanggal 2 – 9 Mei 2016.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah objek
glass, cover glass, mikroskop, pipet tetes, swab steril, cawan petri,
erlenmeyer, batang pengaduk dan ose dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah lactophenol cotton blue, larutan KOH dan media sabaroud
dekstrosa agar.
PROSEDUR PEMERIKSAAN
1.
Prosedur Pengambilan Sampel
Cara pengambilan sampel pada pakaian bekas adalah dengan
melakukan usapan (swab) pada bagian-bagian yang diduga terinfeksi jamur. Kapas
lidi yang digunakan untuk melakukan swab harus steril dan terlebih dahulu kapas
lidi dibasahi dengan larutan KOH, lalu mengusapkan kapas lidi tersebut memutar
sehingga seluruh permukaan kapas kontak dengan permukaan sampel. Kemudian kapas
lidi yang telah mengandung sampel dimasukkan ke dalam wadah/tabung reaksi yang
steril.
2.
Prosedur Pemeriksaan Langsung (Mikroskopis)
Kapas lidi yang telah mengandung sampel pakaian bekas
diambil dari wadah steril kemudian diusapkan pada objek glass yang bersih dan
bebas lemak yang telah berisi 1 tetes larutan KOH lalu ditutup dengan cover
glass kemudian diperiksa di mikroskop dengan lensa objektif 10x kemudian 40x.
3.
Prosedur Pembiakan
Kapas lidi yang telah mengandung sampel pakaian bekas,
digoreskan pada media sabouraud dextrosa agar. Setelah itu, diinkubasi selama 5
hari dalam suhu kamar. Kemudian pertumbuhan jamur diamati morfologinya secara
mikroskopik dengan menggunakan larutan lactophenol cotton blue di atas objek
glass yang kering, bersih dan bebas lemak. Kemudian jamur yang telah tumbuh
diambil dengan menggunakan ose lalu diletakkan di atas larutan lactophenol
cotton blue dan ditutup dengan cover glass, kemudian dipanaskan di atas api
kecil tanpa penguapan. Sediaan diperiksa di mikroskop dengan lensa objektif 10x
kemudian 40x.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di laboratorium klinik GG pada
tanggal 02 sampai 09 Mei 2016. Penelitian ini merupakan Identifikasi Jamur Pada
Pakaian Bekas Yang Dijual Di Pasar Toddopuli Kota Makassar, dengan jumlah sampel
yang digunakan sebanyak 10. Hasil penelitian yang diperoleh disajikan dalam
bentuk tabel sebagai berikut
:
Tabel 1.1 Hasil Pemeriksaan Identifikasi Jamur
Pada Pakaian Bekas Yang Dijual Di Pasar Toddopuli Kota Makassar
NO
|
Kode Sampel
|
Sediaan Langsung
KOH
|
Koloni
pada Media SDA
|
Kesimpulan
|
1
|
A
|
Hifa
|
Putih seperti kapas, bagian bawah kuning
|
Aspergillus
niger
|
2
|
B
|
Hifa
|
Putih seperti kapas, bagian bawah kuning
|
Aspergillus
niger
|
3
|
C
|
Hifa
|
Putih seperti kapas, bagian bawah kuning
|
Aspergillus
niger
|
4
|
D
|
Hifa
|
Putih seperti kapas, bagian bawah kuning
|
Aspergillus
niger
|
5
|
E
|
Hifa
|
Putih
serabut kapas, bagian bawah kuning kecoklatan
|
Aspegillus
fumigatus
|
6
|
F
|
Hifa
|
Putih
serabut kapas, bagian bawah kuning kecoklatan
|
Aspergillus
fumigatus
|
7
|
G
|
Hifa
|
Putih
serabut kapas, bagian bawah kuning kecoklatan
|
Aspergillus
fumigatus
|
8
|
H
|
Hifa
|
Putih seperti kapas, bagian bawah kuning
|
Aspergillus
niger
|
9
|
I
|
Hifa
|
Putih seperti kapas, bagian bawah kuning
|
Aspergillus
niger
|
10
|
J
|
Hifa
|
Putih seperti kapas, bagian bawah kuning
|
Aspergillus
niger
|
Sumber : Data Primer, 2016
Tabel 1.2. Persentase
Hasil Identifikasi Jamur Pada Pakaian Bekas Yang Dijual Di Pasar Toddopuli Kota
Makassar
No
|
Pertumbuhan Jamur
|
Persentase
|
1
|
Aspergillus Niger
|
70%
|
2
|
Aspergillus Fumigatus
|
30%
|
Jumlah
|
100%
|
Sumber : Data Primer, 2016.
Penelitian ini dilakukan secara observasional
laboratorik, dimana sampel yang digunakan adalah usapan (swab) pakaian bekas
yang dijual di Pasar Toddopuli Kota Makassar. Sampel diambil secara acak di
pasar Toddopuli Kota Makassar. Setiap sampel kemudian diletakkan pada kaca
objek menggunakan ose dan ditetesi larutan KOH agar dapat melihat hifa dan
spora dengan jelas sebanyak 1 – 2 tetes lalu ditutup dengan menggunakan deck
glass , setelah itu diperiksa secara mikroskopik menggunakan perbesaran
objektif 10X dan dilanjutkan pada perbesaran objektif 40X.
Selanjutnya sampel usapan (swab) pakaian
bekas ditanam pada media Sabaround Dextrose Agar (SDA). Lalu media diinkubasi
pada suhu 25oC. Dua hari kemudian, diamati adanya pertumbuhan jamur.
Pada media Sabaround Dextrose Agar koloni yang tumbuh kemudian diperiksa di
bawah mikroskop dengan menambahkan larutan Lactopenol Cotton Blue, pada
pembesaran objektif 10X dan 40X.
Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa dari 10
sampel semua terdapat pertumbuhan jamur, dimana
7 sampel terdapat pertumbuhan jamur Aspergillus
niger yaitu pada sampel (A, B, C, D, H ,I , J) dan 3 sampel terdapat
pertumbuhan jamur Aspergillus Fumigatus
yaitu pada sampel (E, F dan G).
Pada pemeriksaan pendahuluan dari 10 sampel
usapan (swab) pakaian bekas, pemeriksaan mikroskopik secara langsung ditemukan hifa pada 10 sampel usapan (swab)
pakaian bekas. Sampel usapan (swab) pakaian bekas yang ditanam pada media
Sabaround Dextrose Agar dan diinkubasi pada suhu 25oC. Dua hari
kemudian terjadi pertumbuhan jamur pada media.
Koloni jamur yang tumbuh pada media sampel A
koloni terlihat bulat kecil cembung, berwarna putih seperti kapas dan bagian
bawahnya berwarna kuning. Pada sampel B juga koloni terlihat bulat kecil
cembung, permukaan koloni berwarna putih seperti kapas dan bagian bawahnya
berwarna kuning. Begitu juga pada sampel C dan D, koloni juga sama terlihat bulat kecil seperti
kapas dan bagian bawahnya berwarna kuning. Sedangkan sampel E , F, dan G koloni
terlihat berbentuk bulat kecil dan cembung, berwarna putih, serabut kapas, dan
bagian bawah berwarna kuning kecoklatan. Sampel H, I, dan J memiliki
pertumbuhan koloni yang sama berbentuk bulat kecil, cembung, dan putih seperti
kapas, bagian bawah koloni berwarna kuning.
Dari hasil pemeriksaan mikroskopis, koloni
yang tumbuh pada 10 media Sabaround Dextrose Agar. Media sampel A, B, C, D, H,
I, J, terdapat jamur Aspergillus niger,
sedangkan pada media sampel E, F, dan G terdapat jamur Aspergillus fumigatus. Sehingga pada pakaian bekas adalah 100%
hasil positif terdapat jamur.
Pada Aspergillus
fumigatus, hifanya bersepta, hyalin, bercabang seperti pohon atau kipas.
Kepala konidia uniseriate, kolumner, konidia seperti rantai, terlepas atau
menyebar. Konidia tunggal atau berpasangan dapat menyerupai sel khamir.
Sedangkan pada Aspergillus niger, gambaran hifa seperti Aspergillus fumigatus. Kepala konidia berserieta, tersusun radier,
seperti rantai, terlepas atau menyebar. Konidia tunggal atau berpasangan dapat
menyerupai sel khamir.
Jamur Aspergillus
sp hidup berkoloni pada bahan makanan, pakaian maupun alat rumah tangga
lain yang lembab dan kurang sinar matahari. Koloni jamur ini berwarna hijau,
abu-abu, hitam, dan kuning kecoklatan. Beberapa spesies Aspergillus merupakan jamur yang patogen. Lebih dari 200 spesies Aspergillus
telah diidentifikasi dan sebagian besar menyebabkan penyakit pada manusia,
jamur Aspergillus sp menginfeksi
manusia melalui inhalasi sehingga dapat menyebabkan Aspergillosis dan
Aspergilloma (Chiu A, 2010).
Aspergillus sp
termasuk spesies saprofitik yang cenderung sering ditemukan di alam bebas dan
dapat tumbuh pada suhu 22 – 30 oC dan genus Aspergillus sp termasuk jamur yang mampu tumbuh dalam 3 hari dalam
masa pertumbuhan optimal.
Media Sabouraud Dextrose Agar (SDA) adalah
media sintetik yang diciptakan oleh Raymond Sabouraud yang digunakan untuk
mengisolasi semua jenis jamur. Media ini mengandung dekstrosa, pepton dan bahan
agar (dengan kadar gula relatif tinggi dan pH rendah).
Jamur dapat ditemukan pada pakaian bekas, hal
ini dapat disebabkan karena jamur yang menempel pada kulit seseorang bisa
menempel pada pakaian yang dipakainya, sehingga bila pakaian itu digunakan
orang lain, tidak menutup kemungkinan jamur tersebut akan menempel pada kulit
orang lain yang mengenakan pakaian tersebut. Selain itu, faktor suhu dan
kelembaban sangat mempengaruhi tumbuhnya jamur, sebab pada umumnya jamur mudah
tumbuh pada tempat yang memiliki tingkat kelembaban yang tinggi.
Begitu pula pada penempatan pakaian bekas yang biasanya
disimpan di dalam karung-karung. Tak jarang pula pakaian bekas juga dijual
dengan ditumpuk di lantai yang hanya beralaskan karung, dengan tempat yang
kurang bersih atau tidak terjaga sanitasinya, maka hal ini merupakan peluang
yang sangat besar untuk jamur dan bakteri untuk hidup dan berkembang biak.
KESIMPULAN
DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
yang telah diuraikan maka dapat disimpulkan bahwa dari 10 sampel usapan (swab)
pakaian bekas yang dijual di pasar Toddopuli Kota Makassar dinyatakan positif
(100%) terkontaminasi jamur dalam hal ini 7 sampel positif (70%) Aspergillus
niger dan 3 positif (30%) Aspergillus fumigatus.
sehingga disarankan kepada masyarakat agar setelah membeli pakaian bekas sebaiknya dicuci terlebih dahulu untuk
mengurangi kontaminan jamur dan lebih teliti
dalam membeli pakaian bekas yang dijual di pasar-pasar tradisional, untuk
mengurangi resiko tertularnya penyakit kulit akibat jamur.
DAFTAR
RUJUKAN
Alwi, H. 2007. Kamus
Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta.
Anonim. 2012. Available From: artikelteknikkimia.blogspot.com/jamur.html.
(Di akses pada tanggal 11 Maret 2016)
Chiu,
Annie. 2010.
“Aspergillosis”. Available From : http://emedicine.medscape.com.
(Di akses tanggal 18 Maret 2016)
Dismukes W.E., Pappas P.G., Sobel J.D. 2013. Clinical Mycology. Oxford University
Press. New York.
Fast News. 2015. Awas!
Banyak bakteri Berbahaya dalam Pakaian Bekas Impor. http://m.fastnewsindonesia.com (diakses 26 Maret 2016)
Harti, A.S. 2012. Dasar-Dasar
Mikrobiologi Kesehatan. Nuha Medika. Yogyakarta.
Hasyimi. 2010. Mikrobiologi
dan Parasitologi Untuk Mahasiswa Keperawatan. Trans Info Media. Jakarta.
Hermawan, H. 2014. Baju
Bekas Negara Lain di Pakai Bangsa Indonesia.
http://herryhermawanmetlogic.blogspot.com/ (diakses 10 Maret 2015)
Humahatul, L.B. 11 Februari 2013. Analisa Mikrobiologi PT. Tirta Investama, Wonosobo. http://luluk-humahatul-baroroh.blogspot.com/2013_02_01_archive.html (diakses 26 Maret 2015)
Irianto, K. 2014. Bakteriologi
Medis, Mikologi Medis, dan Virologi Medis. Penerbit Alfabeta. Bandung.
Mulyana, N. 2012. Cakar
Gaya Modern. http://nurmulyana02.blogspot.com/ (diakses 10 Maret 2015)
Perpustakaan Cyber. Cara
Hidup dan Habitat Fungi.
perpustakaancyber.blogspot.ca/2012/12/cara-hidup-dan-habitat-fungi.html?m=1
(diakses 25 Maret 2016)
Rahayu, D.F. 13 Oktober 2011. Mikroorganisme (Jasad Renik).
http://dyahflames.blogdetik.com/2011/10/13/dasar-bioproses-2/ (diakses 26 Maret
2016)
Sudjana, D.
2001. Metode & Teknik Pembelajaran
Partisipatif. Falah Production. Bandung.
Sutanto, I., Ismid, I.S., Sjarifuddin P.K., Sungkar, S.
2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran
Edisi Keempat. Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
Wahyuningrum, E.20 Mei 2014.Epidermophyton Floccosum. https://ermaagenvenus.wordpress.com/2014/05/20/epidermophyton-floocosum/
(diakses 26 Maret 2015)
Waluyo, L. 2012. Mikrobiologi Umum. Penerbit Erlangga.
Jakarta.
Widarti. 2010. Penuntun
Praktikum Laboratorium Mikologi Medik. Program D III Analis Kesehatan.
Universitas Indonesia Timur. Makassar
Wikipedia. 24 Juni 2014.Microsporum. http://en.m.wikipedia.org/wiki/Microsporum (diakses 26
Maret 2016)
Wikipedia. 7 April 2013.Trichophyton. http://id.m.wikipedia.org/wiki/Trichophyton (diakses
26 Maret 2016).
IDENTIFIKASI BAKTERI KOLOREKTAL SEBAGAI
FAKTOR RISIKO TERJADINYA KANKER KOLOREKTAL
HIJRAL ASWAD
ABSTRACT
This
study aims to determine the type of bacteria isolated in colorectal tissues and
to investigate the KRAS gene mutation in patients with colorectal cancer. The
study design was analytical Cross Sectional. The number of samples used 20
stool, 34 tissues in addition to CRC, 42 CRC tissues, 16 normal tissues other
than CRC rinsing, rinsing 17 CRC tissues. The method used is cultur, Rapid TMSTR
Test Panel and PCR.
Based on the results of research that has been done can be concluded that the
highest prevalence of the bacteria present in the colon tumor tissues than
normal colon tissues, there are E.
coli, K. pneumonia, K. aerogenes, P. vulgaris, E. aglumerans, Prov. Stuarti, A.
faecalis, P. aerogenes, S. epidermidis, S. intermedius, E. faecalis, Staph.
Aureus, Staph. Epidermidis dan S. tiphy. Although statistically the influence
of bacteria are not significant to the development of colorectal cancer that
showed the value of chi square is p = 0,217.
Key
Words: Colorectal, Colorectal cancer
PENDAHULUAN
Kanker
Kolorektal (CRC) merupakan penyakit kanker yang menempati urutan ke empat di
seluruh dunia. Jumlah kasus CRC semakin meningkat sejak tahun 1975 (Abdul Amir,
2009). Penelitian terdahulu melaporkan keterkaitan infeksi dengan
karsinogenesis (Burnett-Hartman, 2008). Infeksi tersebut meliputi Helicobacter pylori, Streptococcus bovis, Human Papilloma
virus dan JC virus. Insiden CRC berkorelasi 18-62% dengan kejadian infeksi Streptococcus bovis yang sekarang
disebut sebagai Streptococcus
gallolyticus (Leport, 2007, Zarkin 1990). Biotipe I dari Streptococcus bovis diidentifikasi
sebagai penyebab infeksi endocarditis maupun lesi prakeganasan (Ellmerich,
2000, Ruoff, 1989). Streptococcus bovis
pernah dilaporkan diisolasi dari spesimen feses atau darah (Schlegel, 2003).
Kanker
kolorektal adalah salah satu penyakit
ganas yang paling umum dengan angka
kejadian tahunan sebanyak 945
000 kasus di seluruh dunia dan kematian setiap tahunnya sekitar 500 000 kasus (Weitz J, Koch M, et
al. 2005).
Kanker kolorektal adalah kanker
epitel yang berkembang
sebagai akibat dari proliferasi
sel yang tidak terkontrol dan disregulasi
mekanisme apoptosis sel (Labianca R, Beretta GD,
Kildani B, et al, 2010), dan patogenesis yang tidak
diragukan lagi terkait dengan interaksi
yang kompleks terhadap imunologi mukosa
dengan ekologi mikrobiologi (Salzman NH, Hung K, et
al. 2010). Pasien dengan penyakit
inflamasi kronis seperti colitis
ulseratif dan penyakit Crohn memiliki
risiko mengalami kanker kolon, hal ini menunjukkan bahwa peradangan kronis dan kanker berhubungan erat
pada saluran pencernaan (Balkwill F, Coussens LM. 2004;
Clevers H. 2004; Hahm KB, Im YH, et al.
2001).
Perhatian terhadap angka kejadian
kanker kolorektal semakin meningkat, dimana data statistik menunjukkan bahwa
angka kejadian kanker kolorektal di dunia meningkat tajam sejak tahun 1975 (Boyle
P, Langman JS. 2000). Sedangkan Indonesian
Cancer mencatat, bahwa pada tahun 2002 ditemukan sebanyak 3.572 kasus baru
kanker kolorektal di Indonesia (Abdullah M, 2004). Di Indonesia, kanker
kolorektal merupakan jenis keganasan saluran cerna kedua terbanyak setelah
keganasan hepatoseluler (Pusponegoro AD, 2004).
ALAT DAN BAHAN
Penelitian
ini merupakan suatu penelitian cross sectional untuk menilai karakterisasi
jaringan dengan atau tanpa CRC dan mengetahui bakteri-bakteri yang berkolerasi
pada penderita CRC. Penelitian ini dilakukan pada bulan September 2015
sampai Juli 2016. Lokasi penelitian dilakukan di Rumah Sakit
Pendidikan UNHAS Lt.6.
Alat
yang digunakan dalam pengambilan sampel adalah: pisau scapel, penjepit, botol
sampel, pinset, swab dan Ice Box. Alat yang digunakan dalam perlakuan
spesimen adalah cawan perti, freezer 40 C, rak tabung reaksi, vortex
shaker, whater bath, sentrigufe, inkubator, laminary air flow, rotary shaker,
sarung tangan, bunsen, botol plastik ukuran 100 mL, botol plastik ukuran 10 mL, tabung eppendorf, pompa vacum, rak tabung eppendorf, stopwatch, mikropipet
+ tip filter,
mesin PCR, botol reagen, perangkat UV light+ kamera polaroid,
elektroforesis + tip supply, sendok tanduk, kaca mata anti UV, freezer 40C,
neraca analitik,
mikrotube, rak tabung reaksi kecil, sarung tangan dan masker.
Bahan-bahan
yang digunakan dalam penelitian ini adalah : Nutrien Agar
Mc conkey, Medium MSA, Medium tes biokimia (TSIA, SIM (sulfur indol multiliti),
MRVP, Sitrat Urea, Peragian Karbohidrat (Glukosa, Laktosa, Sukrosa, Manitol) untuk bakteri basil Gram negatif (enterobacteriaceae), BHIB agar, Blood Agar, Colombia Agar, dan RapiDTMSTR Panel untuk Streptococcus spp.,
HASIL DAN
PEMBAHASAN
1.
Identifikasi Bakteri Kolorektal
Adapun
pengelompokan kategori sampel yang dikerjakan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 1. Sampel Kultur Dari Spesimen Jaringan
Berdasarkan Pemeriksaan Kultur Yang Dilakukan
No.
|
Kriteria sampel
|
Posisi
|
Cairan Bilasan
Jaringan
|
Jaringan Setelah
Pembilasan
|
Jumlah Pemeriksaan kultur bakteri
|
||
A
|
M.A
|
A
|
M.A
|
||||
1
|
Sampel jaringan
reseksi
|
Jaringan Kolon tumor
|
16
|
9
|
27
|
21
|
73
|
Jaringan kolon
normal
|
9
|
13
|
17
|
17
|
56
|
||
2
|
Sampel endoskopi
|
Jaringan kolon tumor
|
2
|
3
|
14
|
15
|
34
|
Jaringan kolon
normal
|
4
|
2
|
11
|
6
|
23
|
||
3
|
Feses
|
|
18
|
18
|
|
36
|
|
Total
|
222
|
Sumber : Data Primer, 2016
Ket : A =
Aerob
M.A = Mikroaerofilik
Setelah dilakukan
pengelompokan sampel, selanjutnya sampel pasien dikultur dalam media BHIB untuk
semua kategori sampel. Kemudian sampel diinkubasi selama 24 jam pada suhu
370C. Setelah ada pertumbuhan bakteri, dilanjutkan dengan penanaman
pada media Nutrien Agar, Mac Conkey agar, Blood Agar, Columbia Agar, dan MSA.
Bakteri yang ditemukan di identifikasi hingga tingkat spesies dengan
menggunakan uji biokimia dengan media TSIA, Urea, Citrat, SIM, MRPV dan test RapiDTMSTR Panel. Perlakukan terhadap kultur di berikan
dua kondisi yang berbeda yaitu aerob dan kondisi mikroaerofilik sehingga
pemeriksaan kultur bakteri yang dilakukan sejumlah 222 pemeriksaan meliputi
semua kategori sampel.
Tabel 2.
Pertumbuhan Bakteri Yang Telah Dikultur
a) Kultur Bakteri Dari Cairan Bilasan Jaringan
No.
|
Spesies Bakteri yang
ditemukan
|
Jumlah
|
|
Cairan
bilasan Jaringan Kolon tumor
(CTBil,
n=16 )
|
Cairan
Bilasan Jaringan Kolon Normal dekat tumor (CNBil, n=17)
|
||
1.
|
Escherichia coli
|
9
|
12
|
2.
|
Klebsiella pneumonia
|
-
|
-
|
3.
|
Klebsiella aerogenes
|
1
|
1
|
4.
|
Proteus vulgaris
|
4
|
6
|
6.
|
Enterobacter aglumerans
|
6
|
3
|
7.
|
Providencia stuarti
|
1
|
-
|
8.
|
Alkaligenes faecalia
|
-
|
1
|
9.
|
Streptococcus anginosus
|
1
|
-
|
10.
|
Streptococcus intermedius
|
3
|
1
|
11.
|
Enterococcus faecalis
|
1
|
1
|
12.
|
Staphylococcus aureus
|
2
|
2
|
13.
|
Staphylococcus epidermidis
|
1
|
-
|
Sumber : Data Primer 2016
b) Kultur Bakteri Pada Jaringan Setelah
pembilasan
No.
|
Spesies Bakteri yang ditemukan
|
Jumlah
|
|
Jaringan
Kolon tumor
(CTj, n=42)
|
Jaringan
Kolon Normal dekat tumor (CNj, n=32)
|
||
1.
|
Escherichia coli
|
18 (42,8%)
|
12 (37,5%)
|
2.
|
Klebsiella pneumonia
|
4 (9,5%)
|
-
|
3.
|
Klebsiella aerogenes
|
1 (2,4%)
|
-
|
4.
|
Proteus vulgaris
|
11 (26,2%)
|
11 (34,4%)
|
5.
|
Enterobacter aglumerans
|
15 (35,7%)
|
10 (31,1%)
|
6.
|
Providencia stuarti
|
1 (2,4%)
|
-
|
7.
|
Alkaligenes faecalia
|
1 (2,4%)
|
1 (3,1%)
|
8.
|
Pseudomonas aerogenes
|
1 (2,4%)
|
-
|
9.
|
Streptococcus epidermidis
|
1 (2,4%)
|
-
|
10.
|
Streptococcus anginosus
|
-
|
1 (3,1%)
|
11.
|
Streptococcus intermedius
|
1 (2,4%)
|
2 (6,2%)
|
12.
|
Enterococcus faecalis
|
1 (2,4%)
|
-
|
13.
|
Staphylococcus aureus
|
7 (16,7%)
|
3 (9,4%)
|
14.
|
Staphylococcus epidermidis
|
-
|
1 (3,1%)
|
15.
|
Salmonella typhi
|
1 (2,4%)
|
-
|
Sumber : Data Primer 2016
a) Kultur Bakteri Pada Sampel Feses
No.
|
Jenis
Bakteri
|
Feses (n=20)
|
1.
|
Proteus vulgaris
|
10
|
2.
|
Proteus mirabilis
|
2
|
3.
|
Enterobacter aglumerans
|
7
|
4.
|
K. pneumonia
|
1
|
Sumber : Data Primer 2016
PEMBAHASAN
Berdasarkan
tabel di atas dapat diketahui berbagai jenis bakteri yang berkolonisasi pada jaringan kolorektal. Dalam
penelitian ini ditemukan 15 spesies bakteri yang tergolong dalam golongan Enterobacteriaceae, Streptococcus sp., dan Staphylococcus
sp.
Bakteri E.
coli, Enterobacter aglumerans, Klebsiella dan Proteus merupakan bakteri golongan enterobacter. Bakteri ini
kebanyakan menjadi flora normal pada saluran pencernaan manusia. Golongan
enterobacter secara spesifik bersifat patogen dan menyebabkan infeksi
oportunistik nosokomial yang menjadi salah satu penyebab utama infeksi
ekstraintestinal. seperti E.coli,
dimana strain ini dapat menghasilkan haemolysin menyerupai α-haemolisin.
Klebsiella memiliki sifat patogen karena memiliki fimbiriae tipe 1 dan 3. Beberapa
strain enterobacter juga mampu mengekspresikan aerobactin-dimediasi penyerapan
zat besi, yang umumnya terkait patogenesis bakteri ekstraintestinal pada
manusia (Greenwood,
David; Richard C.B. Slack; John F. Peuthere, 2002).
Bakteri Klebsiella pneumonia berada dalam tinja
kurang lebih 5% pada individu normal (Nuryasni, 2009). Sedangkan Pseudomonas
aeroginenes bersifat saprofit pada orang sehat tetapi dapat menimbulkan
penyakit apabila ketahanan tidak normal seperti akibat kerusakan jaringan.
Selanjutnya, Melalui penambahan CO2 5 % dalam penelitian ini telah
membuktikan peningkatan pertumbuhan bakteri streptococcus khususnya streptococcus anginosus. Streptococcus anginosus merupakan flora
normal pada saluran pencernaan manusia akan tetapi bakteri ini dapat memiliki
kecenderungan menyebabkan abses, infeksi piogenik invasif, termasuk
abses otak, intra-toraks dan infeksi intra-abdomen.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan
dapat disimpulkan bahwa prevalensi bakteri tertinggi terdapat pada jaringan
kolon tumor daripada jaringan kolon normal yaitu E. coli, K. pneumonia, K. aerogenes, P. vulgaris, E.
aglumerans, Prov. stuarti, A. faecalis, P. aerogenes, S. epidermidis, S.
intermedius, E. faecalis, Staph. aureus, Staph. epidermidis dan S. tiphy.
Sebaiknya penelitian ini dilanjutkan hingga sampel yang terkumpul semakin
banyak sehingga dapat diperoleh data yang lebih signifikan.
DAFTAR RUJUKAN
Abdul Amir,
Hafidh RR., Mahdi LK, et al, 2009. Investigation
into the controversial association of Streptococcus
gallolyticus with colorectal cancer and adenoma, BMC, 9:403.
Anonim, 2012.
Anatomi dan fisiologi usus besar. http://id.shvoong.com/
medicine-and-health/2125659-anatomi-dan-fisiologi-usus-besar/#ixzz1pO8VTeh7.(diakses
pada tanggal 18 Maret 2012).
Anonim, 2012.
Konstipasi. http://nursingbegin.com/konstipasi-dan
patofisiologinya). (diakses pada tanggal 18 maret 2012).
Anonim, 2011.
Anatomi dan Fisiologi Usus Besar. http://www.utakatik.info
/406/anatomi-dan-fisiologi-usus-besar.html. (diakses pada tanggal 18 maret
2012).
Balkwill F, Coussens LM., 2004. Cancer: an inflammatory link. Nature.
2004;431:405–406.
Becker WM, Kleinsmith LJ, Hardin J.
2000. The World of The Cell. Edisi keempat. The Benjamin Publishing
Company.
Brink M.,
Anton F.P.M.de G., Matty p.W.,Guido M.J.M.R., et al., 2003. K-ras Onkogen
Mutations in Sporadic Colorectal Cancer in The Netherlands Cohort Study. Carcinogenesis
vol.24 no.4 pp.703-710.
Bunett-Hartman A., N., Polly A. N.,
and John D. P., 2008. Infectious Agen and Colorectal Cancer: A Review of Helicobacter pylori, Streptococcus bovis, JC
Virus and Human papilomavirus. Cancer Epidemiol Biomarkers Prev.2008 Nov.; 17
(11):2970-2979.
Camp
JG, Kanther M, Semova I, Rawls JF. 2009.
Patterns and scales in gastrointestinal microbial ecology. Gastroenterology.
136:1989–2002
Campieri
M, Gionchetti P., 2001. Bacteria as the cause of ulcerative colitis. Gut.
48:132–135
Clevers H., 2004. At the crossroads
of inflammation and cancer. Cell. 118:671–674.
Edmiston
CE, Jr, Avant GR, Wilson FA.1982. Anaerobic bacterial populations on normal and
diseased human biopsy tissue obtained at colonoscopy. Appl
Environ Microbiol. 43:1173–1181
Ellmerich S,
Scholler M, Duranton B, 2000, Promotion of Intestinal Carcinogenesis by
Streptococcus bovis Carcinogenesis, vol 21 no4, 753-756.
Ellmerich S,
Djouder N, Scholler M, 2000., Production of cytokines by monocytes, epithelial
and endothelial cells activated by Streptococcus bovis, Cytokine 12, 26-31.
Greenwood,
David; Richard C.B. Slack; John F. Peuthere. Medical Microbiology, a Guide to
Microbial Infections: Pathogens, Immunity, Laboratory Diagnosis and Control.
Edinburgh: Churchill Livingstone, 2002 .
Guarner
F, Malagelada JR. 2003. Role of bacteria in experimental colitis. Best
Pract Res Clin Gastroenterol. 17:793–804
Hahm KB, Im YH, Parks TW, Park SH,
Markowitz S, Jung HY, Green J, Kim SJ. 2001. Loss of transforming growth factor
beta signalling in the intestine contributes to tissue injury in inflammatory
bowel disease. Gut. 49:190–198.
Hal Nash R.
1999. Chronic Diseases With Possible Infectious Etiologies. 1999
[http://www.cdcgov/ncidod/EID/vol4no3/relman.htm].
Killeen SD,
Wang JH, Andrews EJ, 2009. Redmond HP: Bacterial endotoxin enhances colorectal
cancer cell adhesion and invasion through TLR-4 and NF-kappaB-dependent
activation of the urokinase plasminogen activator system. Br J Cancer
.100:1589-1602.
Kuper
H, Adami HO, Trichopoulos D. 2002. Infections as a major preventable cause of
human cancer. J Intern Med. 248:171–183.
Labianca
R, Beretta GD, Kildani B, et al.
2010. Colon cancer. Critical Reviews in Oncology/Hematology.
74:106–133
Lancaster LE,
Wintermeyer W, Rodnina MV. 2007. Colicins and their potential in cancer
treatment. Blood Cells Mol Dis. 38:15-18
Lax
AJ, Thomas W. 2002. How bacteria could cause cancer: one step at a time. Trends
Microbiol. 10:293–299.
Ley
RE, Turnbaugh PJ, Klein S, Gordon JI. 2006. Microbial ecology: human gut microbes
associated with obesity. Nature. 444:1022–1023.
Lewin B.1983.
Genes. Canada : John Wiley and Sons, Inc.
Mager
DL.2006. Bacteria and cancer: cause, coincidence or cure? A review. J
Transl Med. 4:14.
Murinello,
Mendonca P., Ho, 2006. Streptococcus gallolyticus bacteremia
associated with colonic adenomatous polyps,
GE - J Port Gastrenterol 2006, 13: 152-156.
Mutch
DM, Simmering R, Donnicola D, Fotopoulos G, Holzwarth JA, Williamson G, et al. 2004. Impact of commensal
microbiota on murine gastrointestinal tract gene ontologies. Physiol
Genomics. 19:22–31.
Nagasaka T., Hiromi S.,Kenji N., harry
M.C., et al. 2004. Colorectal Cancer With Mutation in BRAF, KRAS and Wild-Type
With Respect to Both Oncogenes Showing Different Patterns of DNA Methylation.
Journal of Clinical Oncology. Volume 22 No.22- November 15 2004.
Parsonnet J. 1995. Bacterial infection as a cause of cancer.
Environ Health Perspect 103(Suppl 8):263-268.
Saiki,
RK; Scharf S, Faloona F, Mullis KB, Erlich HA, Arnheim. 1985. Enzymatic
amplification of beta-globin genomic sequences and restriction site analysis
for diagnosis of sickle cell anemia. Science
230 (4732): 1350–1354.
Salzman
NH, Hung K, Haribhai D, et al.
2010. Enteric defensins are essential
regulators of intestinal microbial ecology. Nature Immunology.
11(1):76–83
Sandek
A, Bauditz J, Swidsinski A, Buhner S, Weber-Eibel J, von Haehling S, et al. 2007. Altered intestinal function
in patients with chronic heart failure. J Am College
Cardiol. 50:1561–1569.
Savage
DC.1977 Microbial ecology of the gastrointestinal tract. Ann
Rev Microbiol. 31:107–133.
Scanlan
PD, Shanahan F, Clune Y, Collins JK, O'Sullivan GC, O'Riordan M, et al. 2008. Culture-independent
analysis of the gut microbiota in colorectal cancer and polyposis. Environmental
microbiology. 2008;10:789–798.
Schlegel, Francine G, Elisabeth A, Patrick AD
2003. Reappraisal
of the taxonomy of the Streptococcusbovis/Streptococcus equinus complex and
related species: description of Streptococcus gallolyticus subsp.
gallolyticus subsp. nov., S. gallolyticus subsp. macedonicus subsp. nov.
and S. gallolyticus subsp. Pasteurianus subsp. nov. Int
J Syst Evol Microbiol 2003, 53:631-645.
Shanahan
F. 2002. Gut flora in gastrointestinal disease. Eur
J Surg.47–52.
Van
Citters GW, Lin HC.2005. Management of
small intestinal bacterial overgrowth Curr
Gastroenterol Rep. 7:317–320.
Weitz
J, Koch M, Debus J, Hohler T, Galle PR, et
al. 2005. Colorectal cancer. Lancet. 365:153–165.
UJI
SENSIVITAS PERASAAN DAUN CEREMAI (Phyllanthus
acidus (L)TERHADAP PERTUMBUHAN Escherichia
coli DAN Staphylococcus aureus
NURUL UTAMI HALIMSYAH
ABSTRACT
Bacteria are
single-celled microorganisms, have strong walls and a fixed shape. The bacteria
Escherichia coli is a bacteria commonly found in the opportunistic human colon
as normal flora that can menyebapkan infection in the gut eg diarrhea and also
its ability to cause infection in the tissue. Staphylococcus aureus can be
found on the surface of the skin as normal flora, especially around the nose,
mouth, genitals and around the anus and can cause wound infections usually
abscess is a collection of pus or fluid in the tissue due to infection.
The purpose of
this study is to determine whether there is influence the growth of bacteria
Escherichia coli and Staphylococcus aureus in the juice of the leaves ceremai
(Phyllanthus acidus L) at a concentration of 100%, 80%, 60%, 40% and 20%.
The method used
in this study are Merode experiments conducted experiments on concentration in
the water feeling ceremai leaf (Phyllanthus acidus (L) on the growth Eschrichia
coli and Staphylococcus aureus in vitro.
The results
showed that the leaf juice ceremai not inhibit the growth of bacteria
Escherichia coli and Staphylococcus aureus in the juice of the leaves ceremai
(Phyllanthus acidus L) at a concentration of 100%, 80%, 60%, 40% and 20%.
Based on these
studies are expected to communities that no longer consume freshly ceremai
leaves, because water leaves feeling ceremai not to inhibit the growth of
bacteria Escherichia coli and Staphylococcus aureus.
Keywords: leaf
juice ceremai, Escherichia coli and Staphylococcus aureus.
PENDAHULUAN
Penyakit
infeksi merupakan salah satu masalah dalam bidang kesehatan yang dari waktu ke
waktu terus bertambah. Infeksi merupakan penyakit yang dapat di tularkan dari
satu orang ke orang lain atau dari hewan ke manusia. Infeksi disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, riketsia, jamur dan protozoa.
Penyakit
infeksi masih merupakan jenis penyakit yang paling banyak diderita oleh
penduduk di dunia. baik pada negara-negara sudah maju (berkembang) maupun
negara-negara yang belum berkembang, termasuk Indonesia. Salah satu penyebab
penyakit infeksi adalah bakteri. Bakteri merupakan mikroorganisme yang tidak
dapat dilihat dengan mata telanjang,
tetapi hanya dapat dilihat dengan bantuan mikroskop.
Pada
umumnya jika kita mendengar kata bakteri, yang langsung terbayang adalah mahluk
amat kecil yang berbahaya karena menyebapkan berbagai penyakit. Bakteri Escherichia coli adalah salah satu jenis
bakteri yang sering di bicarakan. Cukup banyak masyarakat yang tahu Escehrechia coli namun hanya sebatas
bakteri ini adalah penyebap infeksi saluran pencernaan, maka dari itu kita
harus memperhatikan kebersihan lingkungan maupun kebersihan fisik kita agar
kita terhindar dari berbagai penyakit termasuk penyakit diare, seperti yang
kita ketahui bahwa bakteri eschrechia
coli ini biasanya banyak terdapat di air jadi kebersihan lingkungan dan air
harus di perhatikan agar terhindar dari bakteri eschrichia coli atau penyebap penyakit diare.
Escherichia coli merupakan flora normal di
dalam intestin.bakteri ini dapat menyebapkan infeksi saluran kencing yang
merupakan infeksi terbanyak (80%), gastroenteritis dan meningitis pada baiy,
peritonitis, infeksi luka, kolesistis, syok bakterimia karena masuknya organisme
ke dalam darah dari uretra, kateterisasi atau sitoskopi atau dari darah spesis
pada abdomen atau pelvis.
Escherichia coli merupakan bakteri gram
negatif berbentuk batang batang pendek
yang memiliki panajng sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,4-0,7 μm dan
bersifat anairob fakultatifk Escherichia
coli membentuk koloni yang bundar, cambung, dan halus dengan tepi yang
nyata.
Staphylococcus aureus merupakan bakteri coccus
gram positif, susunannya bergerombol dan tidak teratur seperti anggur. Staphylococcus aureus tumbuh pada media
cair dan padat seperti NA (Nutrien Agar)
dan BAP (Blood Agar Plate) dan dengan aktif melakukan metabolisme, mampu
fermentasi karbohidrat dan menghasilkan bermacam-macam pigmen dari putih hingga
kuning.
Staphylococcus aureus dapat ditemukan pada
permukaan kulit sebagai flora normal, terutama disekitar hidung, mulut, alat
kelamin, dan sekitar anus. Dapat menyebabkan infeksi pada luka biasanya berupa
abses merupakan kumpulan nanah atau cairan dalam jaringan yang disebabkan oleh
infeksi. Jenis-jenis abses yang spesifik diantaranya bengkak (boil), radang
akar rambut (folliculitis). Infeksi oleh Staphylococcus
aureus bisa menyebabkan sindroma
kulit. Infeksi Staphylococcus aureus dapat menular selama ada nanah yang keluar
dari lesi atau hidung. Selain itu jari jemari juga dapat membawa Infeksi Staphylococcus aureus dari satu bagian tubuh yang luka atau robek.
Dewasa
ini penggunaan antibiotik sangat banyak terutama dalam pengobatan yang
berhubungan dengan infeksi. Walaupun telah banyak antibiotik ditemukan ,
kenyataan menunjukan bahwa masalah penyakit terus berkeelanjutan. Hal tersebut
terjadi akibat pergeseran pada bakteri terhadap antibiotik. Karena
berkembangnya populasi bakteri yang resisten , maka antibiotik yang pernah
efektif untuk mengobati penyakit-penyakit tertentu kehilangan nilai
kemoterapieutknya.
Di
dunia ini banyak terdapat tanaman yang berguna sebagai obat-obatan dan telah
lama digunakan secara turun temurun berdasarkan pengalaman, potensi tanaman
sebagai obat sebenarnya jauh lebih besar dari pada yang kita ketahui sekarang,
pencarian senyawa bioaktif dalam tanaman perlu di galakkan. Salah satu tanaman
yang dapat dimanfaatkan sebagai obat adalah tanaman (Phyllanthus acidus L) lebih dikenal sebagai ceremai. Tumbuhan ini
merupakan suku Euphoorbiaceae, di beberapa daerah di
Indonesia namanya berbeda-beda, pohon ini berasal dari india, dapat tumbuh pada
tanah kekurangan sampai kelebihan air, ceremai banyak di tanam orang di halaman
rumah, daun ceremai yang masih mudah bias dimakan sebagaisayuran, buah mudah
bias di masak bersama sayuran untuk menyedapkan masakan karna member rasa asam,
buah yang sudah tua dapat dimakan setelah diramasdengan garam untuk mengurangi
rasa asam, dan dapat juga dimakan setelah dibuat manisan atau salai. Tanaman
ceremai di duga mempunyai kandungan kimia
yang aktivitasnya sebagai antibakteri. Kandungan-kandungan yang terdapat
dalam tanaman ini adalah polifenol, saponin, flafonoid dan tannin (Hutapea, 1991). Kelompok-kelompok utama
bahan kimia yang dapat memberikan aktivitas antimikroba salah satunya adalah
fenol dan turunan persenyawaan dari fenol.
Tumbuhan ceremai ini biasanya digunakan oleh
masyarakat sebagai obat herbal untuk menyembuhkan penyakit diare, dimana daun
ceremai ini di rebus dan diambil perasannya untuk diminum, ternyata dapat
menyembuhkan penyakit diare jadi peneliti berinsiatif untuk meneliti tentang
khasiat perasan daun ceremai apakah betul perasan daun ceremai dapat menghambat
pertumbuhan bakteri Eschrichia coli
(bakteri gram negatif) dan bakteri Staphylococcus
aureus (bakteri gram positif) atau tidak.
ALAT DAN
BAHAN
Penelitian ini menggunakan
metode eksperimen yaitu dengan melakukan percobaan terhadap kosentrasi air
perasaan daun ceremai (Phyllanthus acidus
(L) terhadap pertumbuhan Eschrichia
coli dan staphilococcus aureus secara
invitro (Pratiknya, 2015). Sampel penelitian ini adalah air perasan daun
ceremaI (Phyllantus acidusL) yang
masih muda lebih kurang 300 gram (dengan kosentrasi 100%, 80%, 60%, 40%, 20%,
dan stamp Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
Waktu
penelitian dilaksanakan pada tanggal 12 – 19 Juni 2016 dilakukan di Balai Besar
Laboratorium Kesahatan Makassar. Dengan menggunakan alat oven, pencadang,
Inkubator , Autoclave , Erlenmeyer, Corong gelas, Pipet ukur, Petridish, Tabung
reaksi, Beaker glass, Kapas lidi steril,
Mortal, Lampu bunsen, Hole,
Masker, Hendskun, Tissue, Handuk,
Kapas dan kertas dan bahan pemeriksaan Mueller Hinton Agar (MHA), Mac
Conkey Agar (MCA), Barium Sulfat Standar (BSS) 0,5 %, Mueller Hinton Broth
(MHB), Aquadest dan NaCl 0,9 %.
Pengolahan data dilakukan dengan cara menghitung
rata-rata zona hambatan daya aktif pertumbuhan Escherichia coli dan
Staphylococcus aureus terhadap
air perasaan daun ceremai dibandingkan
dengan zona hambatan diameter standar zona sensitif (S) anti mikroba 18 mm yang
berpengaruh terhadap daya aktif pertumbuhan Escherichia
coli dan Staphylococcus aureus.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil pemeriksaan yang diperoleh dari Balai Besar
Laboratorium Kesehatan Makassar dapat dilihat dalam tabel 1.1 berikut :
Tabel 1.1. Rata-rata zona hambat pemberian
konsentrasi perasan daun ceremai terhadap Eschrichia coli dan Staphilococcus aureus.
NO
|
Konsentrasi
|
P1
|
P2
|
Rata-Rata Zona Hambat (mm)
|
Ket.
|
1
|
100 %
|
0
|
0
|
0
|
R
|
2
|
80%
|
0
|
0
|
0
|
R
|
3
|
60%
|
0
|
0
|
0
|
R
|
4
|
40%
|
0
|
0
|
0
|
R
|
5
|
20%
|
0
|
0
|
0
|
R
|
6
|
Tetracycline HCL 30 bpj
|
13
|
12
|
13
|
S
|
7
|
Aquades
|
0
|
0
|
0
|
R
|
Sumber :
Data Primer 2016.
Keterangan :
Tetra cyline 30 bpj : Kontrol
positif S : Sensitive
Aquades : Kontrol negatif R : Resisten
P1, P2 : Percobaan
1,2 I : Intermediate
Berdasarkan tabel 4.1 diatas diketahui bahwa perasan daun
ceremai tidak dapat menghambat pertumbuhan bakeri bakteri Escherichia coli dan staphilococcus aureus secara invitro,
karna tidak adanya daya hambat atau zona hambat yang terlihat.
Bakteri
adalah mikroorganisme bersel satu, mempunyai dinding yang kuat dan bentuk yang
tetap. Bakteri escherichia coli merupakan kuman
oportunis yang banyak ditemukan didalam usus besar manusia sebagai flora normal
yang dapat menyebapkan infeksi pada usus misalnya diare dan juga kemampuanya
menimbulkan infeksi pada jaringan. bakteri Staphylococcus
aureus
dapat ditemukan pada permukaan kulit sebagai flora normal, terutama disekitar
hidung, mulut, alat kelamin, dan sekitar anus dan dapat menyebabkan infeksi
pada luka biasanya berupa abses yaitu kumpulan nanah atau cairan dalam jaringan
yang disebabkan oleh infeksi.
Berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium
mikrobiologi di ketahui bahwa kandungan perasan daun ceremai (phylanthus acidus L) yang digunakan
tidak dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia
coli dan Staphilococcus aureus secara invitro, karna tidak adanya daya
hambat atau zona hambat yang terlihat.
Dari hasil
pemeriksaan zona hambat yang terbentuk pada konsenterasi 100% (negatif)
dinyatakan resisten, dimana diketahui bahwa resisten meripakan derajat
perlawanan terhadap suatu aksi terhadap antibiotik perasan daun ceremai, sedangkan konsenterasi 80%
(negatif), 60% (negatif), 40% dan 20% (negatif) dinyatakan juga sebagai
resisten terhadap pertumbuhan Escherichia
coli dan Staphylococcus aureus.
Sensivitas test adalah suatu pemeriksaan yang
biasa di lakukan di laboratorium untuk
mengetahui kemampuan suatu abot untuk menghambat pertumbuhan atau suatu organisme ( bakteri), yang biasa di
lihat pada perlakuan atau percobaan di laboratorium. Daya hambat suatu obat
tersebut, dapat dilihat dari zona inhibisi yang terjadi. Semakin kuat obat
tersebut, semakit besar zona hambatnya.
Perasan daun ceremai tidak mempunyai kemempuan untuk
menghambat pertumbuhan Escherichia coli
dan Staphylococcus aureus secara
invitro.
KESIMPULAN DAN SARAN
Dari hasil pemeriksaan laboratorium pada
perasan daun ceremai (phyllanthus acidus
L) terhadap pertumbuhan Escherichia coli
dan Staphylococcus aureus maka
diperoleh kesimpulan bahwa :
1. Perasan daun ceremai yang digunakan sebagai obat
antibiotik secara invitro ternyata tidak dapat menghambat bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus.
2. Tidak terdapat penghambatan bakteri pada pemeriksaan
laboratorium karna kandungan perasan daun ceremai (phylanthus acidus L) yang digunakan tidak mempunyai kemampuan untuk
menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia
coli dan Staphilococcus
aureus.
Oleh Karena Itu, diharapkan kepada masyarakat agar tidak
lagi mengkomsumsi perasan daun ceremai, karena air perasan daun ceremai tidak
dapat menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia
coli dan Staphylococcus aureus
secara invitro, dan bagi peneliti
selanjutnya diharapkan melakukan penelitin yang serupa akan tetapi menggunakan
daun perasan yang lain (daun jambu monyet).
DAFTAR RUJUKAN
Arif, et al. 2012. Kapita
selekta kedokteran. edisi 3 cetakan 1. Media, Jakarta.
Aesculapiuss Dowshen, et al, 2013. Staphyilococcus aureus.
Gibson, J.M. 1996. Mikrobiologi Dan Patologi Modern Untuk
Perawat. Penerbit Buku Kedokteran, EGC,
Jakarta.
Hutapea, 1991. Aneka Tanaman Obat. Penebar Swadaya,
Jakarta.
Irianto, Koes, 2013. Mikrobiologi Medis
‘Pencegahaan-Pangan-lingkungan. Penerbit Alfabet. Bandung.
Jawetz, Melnick,
Adelberg`s, Geo.F.Brooks, Janet S.Butel, Stephen A.Morse. 2005. Mikrobiologi
Kedokteran, Selemba Medika, Jakarta.
Jawetz, E., J.L. Melnick.,
E.A. Adelberg., G.F. Brooks., J.S. Butel., dan L.N. Ornston.
2005. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi
ke- 20 (Alih bahasa : Nugroho&R.F.Maulany). Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Jakarta.
Karsinah, dkk., 1994. Buku Ajar Mikrobiologi kedokteran. PT Bina Rupa Aksara.
Jakarta.
Pelczar, Michael J. 1988. Dasar-Dasar Mikrobiologi. Universitas
Indonesia, Jakarta.
Purnomo, Basuki, 2003. Buku Ajar Mikrobiologi Kedokteran.
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Radji, M. 2011. Mikrobiologi. Buku Kedokteran ECG,
Jakarta.
Sutio. 2009. Buku Penuntun Kuliah Mikrobiologi Dasar.
Akademi Analis Kesehatan, Banda Aceh.
Sukamto, Supardi Imam,
1999. Mikrobiologi Dalam Pengolahan Dan
Keamanan Pangan. Penerbit Alumni, Bandung.
Supardi. 2001. Mikrobiologi Khusus. IKAPI, Bandung.
PENGARUH KONSENTRASI RENDAMAN AIR
GARAM TERHADAP
KADAR
FORMALIN PADA IKAN ASIN
SUHARSIH
THAHIR
ABSTRACT
Formalin is a
chemical additive that is efficient, but banned from use in food (foods). But
in practice, many manufacturers are using formalin in food, one of which
anchovies. Anchovies containing formalin aims to maintain the freshness of the
product is preserved so that could last long and quickly decay. Formalin can
cause cancer if consumed in high doses. Therefore, efforts to reduce the levels
of formaldehyde from food such as salted fish so it is relatively safe umtuk
consumed. The purpose of this study was to determine the effect of the
concentration of salt water immersion on levels of formaldehyde in salted fish.
This type of research is experimental. The samples used are anchovies marinated
snapper formalin by means of the examination conducted by the 3 treatments.
From the results of quantitative research conducted at the Center for Health
Laboratory Makassar in 2015 found decreased levels of formaldehyde in salted
fish snapper marinated with salt water for 60 minutes with a concentration of
soaking 0% or a control that is, the concentration of 30% ie, and 50% are. It
can be concluded that there are significant concentrations of salt water
immersion on levels of formaldehyde in salted fish.
Keywords:
Formalin, Salted, Salt Water
PENDAHULUAN
Ikan merupakan salah satu sumber asam lemak tak jenuh dan
protein hewani terbaik. Asam lemak yang paling banyak pada ikan terutama di
bagian perutnya adalah asam lemak omega 3. Protein pada ikan terdiri atas asam
amino yang tidak rusak saat pemanasan. Kandungan protein pada ikan bervariasi ,
tergantung kandungan lemak dan airnya. Ikan dapat langsung dikonsumsi segar
(ikan bakar, goreng, dan lain-lain) maupun tidak langsung. Ikan yang tidak
langsung biasanya diolah menjadi produk fermentasi dan nonfermentasi. Produk
fermentasi ikan antara lain kecap ikan dan terasi, sedangkan produk
nonfermentasi antara lain dendeng ikan, ikan asap, dan ikan asin (Murdiati
Agnes dan Amaliah. 2013).
Pada Undang-undang RI Nomor 7 Tahun 1996 juga membahas
tentang Bahan Tambahan Pangan (BTP), bahan baku pangan, dan bahan lain yang
digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau
minuman (Tejasari. 2005).
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia
Nomor 722/ Menkes/ Per/IX/1988 tentang bahan tambahan pangan yang mencegah atau
menghambat fermentasi, pengasaman, atau penguraian lain terhadap pangan yang
disebabkan oleh mikroorganisme (Cahyadi Wisnu. 2008).
Penggunaan bahan tambahan makanan pada industri pangan
bertujuan untuk memperpanjang umur simpan atau mengawetkan pangan, meningkatkan
kualitas pangan baik dari segi nilai gizi, maupun sifat organoleptik, membantu
pengolahan dan membentuk makanan menjadi lebih baik, renyah, dan lebih enak
dimulut. Namun pada praktiknya dilapangan penggunaan bahan tambahan makanan
disalah artikan guna menyembunyikan penggunaan bahan yang salah atau yang tidak
memenuhi persyaratan.
Formalin sudah sangat umum digunakan dalam kehidupan
sehari-hari. Di faktor industri sebenarnya formalin sangat banyak manfaatnya,
formaldehid mempunyai banyak manfaat untuk pembersih lantai, kapal,
gudang-gudang, pakaian, pembasmi lalat dan berbagai serangga. Namun belakangan
ini, kita dikagetkan dengan isu adanya tahu berformalin. Setelah ditelusuri
oleh Badan Pengawasan Obat dan Makanan ternyata tidak hanya tahu dan tempe yang
mengandung formalin, bakso pun demikian dan dari penelitian harian kompas dan
sucofindo akhir tahun 2005 tentang ikan asin berformalin ditemukan kesimpulan
sebagai berikut : sampel ikan asin dari Pasar Jati Negara Jakarta Timur
memiliki kandungan formalin 2,36 mg/kg, sampel ikan asin dari Pasar Kebayoran
Lama Jakarta Selatan di pastikan mengandung formalin 29,02 mg/kg, sampel ikan
asin dari Pasar Keramat Jati mengandung formalin dengan kadar 48,47 mg/kg,
bahkan sampel ikan asin yang diambil dari Pasar Palmerah Jakarta Barat ternyata
memiliki kadar formalin tinggi 107,98 mg/kg, tidak ketinggalan ikan asin yang
beredar di pasar modern termasuk hypermarket ternyata menunjukkan kandungan
formalin 51 mg/kg. dari hasil penelusuran ditemukan bahwa alasan pengasin atau
produsen ikan asin menggunakan formalin karena ikan asin akan lebih awet,
terlebih jika musim hujan tiba, para pengasin biasanya bingung mengeringkan
ikan asin. Dalam kondisi seperti itu formalin bisa diandalkan.
Badan Ketahanan Pangan dan Penyuluhan (BKP2) Provinsi NTT
(Nusa Tenggara Timur) menjelaskan dugaan adanya ikan asin berformalin yang
masuk ke daerahnya berdasarkan laporan bahwa ditemukan beberapa produk ikan
asin dari Sulawesi Selatan dan Kalimantan yang beredar dipasaran terutama di
Kupang mengandung formalin yang membahayakan manusia. Menurutnya temuan
tersebut baru sebatas pengujian lapangan dengan test Kid yang memiliki BKP2
setempat dan masih membutuhkan penelitian intensif di lab. Tim terpadu
pemerintah Kota Makassar menemukan beberapa jenis ikan mengandung bahan
pengawet formalin di pusat perbelanjaan modern Makassar.
Formalin dapat menyerang
protein. Penggunaan dalam dosis tinggi dapat pula menyebabkan kanker. Menurut
International Proggrame on Chemical Safety (IPCS), batas toleransi yang dapat
diterima oleh tubuh 0,1 mg perliter (minuman), dan 0,2 mg perliter (makanan).
Lebih sedikit dari batas tersebut maka
akan menyebabkan kepala pusing.
Mengingat bahaya penggunaan formalin tersebut
maka perlu dilakukan upaya untuk menghilangkan formalin. Upaya pengurangan atau
penghilangan formalin disebut deformalinisasi ikan asin misalnya, dapat
dilakukan dengan cara merendam ikan asin tersebut dalam tiga macam larutan,
yakni air, air garam dan air leri. Perendaman dalam air selama 60 menit mampu
menurunkan kadar formalin sampai 61,25 persen, dengan air leri mencapai 66,03
persen, sedang pada air garam hingga 89,53 persen. (Santoso Teguh. 2014).
ALAT
DAN BAHAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah
penelitian eksperimen, yakni untuk mengetahui adanya pengaruh konsentrasi air
garam terhadap kadar formalin pada ikan asin, Penelitian dilaksanakan di Balai
Besar Laboratorium Kesehatan Makassar pada tanggal 6 Mei 2016.
Teknik Pengambilan Sampel yang digunakan
adalah Purposive sampling, yaitu
teknik pengambilan sampel tidak berdasarkan strata, kelompok, atau acak, tetapi
berdasarkan kriteria/ pertimbangan tertantu
yang dibuat oleh peneliti (Saryono. 2008).
Kriteria sampelnya adalah :
1. Jenis ikan yang digunakan yaitu Ikan Asin Kakap
2. Ikan Asin Kakap yang mempunyai berat antara 7-10 ons
3. Ikan Asin Kakap yang tidak rusak atau masih utuh.
Kemudian di potong menjadi 3 bagian dengan berat
masing-masing 1 0ns atau 100 gram. Setelah
itu masing-masing bagian sampel dilakukan perlakuan sebagai berikut :
a. Air garam konsentrasi 0% (tanpa perlakuan perendaman)
b. Air garam konsentrasi 30%, selama 60 menit
c. Air garam konsentrasi 50%, selama 60 menit.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian pengaruh konsentrasi
rendaman air garam terhadap kadar formalin pada ikan asin yang dilakukan di
Balai Besar Laboratorium Kesehatan Makassar tahun 2016 dengan menggunakan alat
Spektrofotometer diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel
1.1 Kadar formalin pada ikan asin yang direndam dengan variasi konsentrasi
garam
No.
Urut
|
No.
Lab
|
Kode
Sampel
|
Formalin
(%)
|
1
|
15105693
|
Kontrol
|
28.50
|
2
|
15105699
|
30%
|
22.95
|
3
|
15105700
|
50%
|
18.52
|
Sumber
: Data Primer 2016.
Dari table 1.1 hasil pemeriksaan kuantitatif pengaruh
konsentrasi garam terhadap kadar formalin pada ikan asin kakap mulai dari
konsentrasi 0% (Kontrol), 30%, dan 50% maka dapat dilihat adanya penurunan
kadar formalin pada setiap perlakuannya.
Sesuai dengan tujuan penelitian ini yaitu
untuk melihat adanya pengaruh konsentrasi rendaman air garam terhadap kadar
formalin pada ikan asin, maka peneliti melakukan penelitian ini dalam bentuk
penelitian eksperimental semu, yaitu suatu kegiatan percobaan (experimental)
yang bertujuan untuk mengetahui gejala atau pengaruh yang timbul akibat adanya
perlakuan tertentu.
Adapun dasar penelitian ini dilakukan karena masih adanya
fenomena yang terjadi dalam masyarakat saat ini dimana msih ditemukannya
peredaran penjualan ikan asin yang mengandung formalin.
Penelitian ini dimulai dengan menentukan sampel yaitu 1
ekor ikan asin kakap utuh, memiliki berat 7 - 10 ons dan tidak tusak atau masih
utuh, kemudian direndam dengan formalin. Dalam penelitian ini dilakukan
sebanyak 3 perlakuan dengan variasi konsentrasi air garam yang
berbeda-beda.
Preparasi sampel dimulai dari pembuatan konsentrasi air
garam, yaitu dengan cara menimbang garam yang tidak beryodium sebanyak 30 gram
dan 50 gram kemudian masing-masing dilarukan menggunakan aquadest sebanyak 100
ml. Selanjutnya pengirisan 1 ekor ikan asin kakap dengan bagian kepala dan
ekornya dibuang, kemudian bagian tubuh ikan di potong menjadi 3 bagian. Setelah
dipotong masing-masing bagian ikan tersebut direndam pada masing-masing
konsentrasi yaitu 0% (Kotrol), 30%, dan 50% selama 60 menit.
Setelah proses perendaman selesai, sampel dikeringkan,
selanjutnya di iris kecil-kecil dan ditimbang menggunakan neraca analitik
masing-masing sebanyak 5 gram. Kemudian ditambahkan aquadest sebanyak 100 ml
dan Asam Pospat pekat sebanyak 20 ml. destilasi masing-masing sampel, hingga
diperoleh destilat 20 ml. Destilat yang diperoleh kemudian dipipet sebanyak 5
ml dan dipindahkan ketabung reaksi. Selanjutnya ditambahkan pereaksi formalin
dan diperiksa menggunakan alat Spektrofotometer.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium, diketahui bahwa
terdapat pengaruh terhadap penurunan kadar formalin pada ikan asin kakap yang
direndam dengan air garam konsentrasi 0% (Kontrol), 30%, dan 50%. Hal tersebut
dapat dilhat bahwa pada konsentrasi 0% (Kontrol) kadar formalin pada ikan asin
tersebut adalah 28,50%, pada konsentrasi 30% kadar formalin pada ikan asin
yaitu 22,95%, sedangkan pada konsentrasi 50% kadar formalin pada ikan asin
tersebut adalah 18,52%.hal ini menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi
perendaman air garam, maka kadar formalin pada ikan asin akan semakin turun.
Sehingga terdapat pengaruh konsentrasi rendaman air garam terhadap kadar
formalin pada ikan asin.
Penurunan tersebut dapat terjadi karena tidak lepas dari
mekanisme larutan garam terhadap formalin itu sendiri dimana terjadi prinsip
proses dehidrahi osmosis yaitu merupakan teknik ekstraksi air dari materi
melalui perendaman dalam larutan osmotik dan reaksi difusi garam. Larutan osmotik
dalam hal ini adalah larutan garam. Selanjutnya terjadi arus berlawanan
simultan yaitu aliran air dari bahan kedalam larutan dan secara bersamaan zat
terlarut dipindahkan dari larutan kedalam bahan makanan. sehingga diharapkan
kandungan formalin yang terdapat dalam ikan asin ikut terlarut dan terekstraksi
keluar dari tubuh ikan asin melalui larutan garam tersebut.
Garam juga menyebabkan koagulasi dan denaturasi protein
dan enzim, sehingga menimbulkan pengerutan pada daging ikan yang mengakibatkan
formalin yang mudah larut dalam air ikut terkuras keluar.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Rony Harvani
dengan judul Pengaruh Konsentrasi Perendaman Air Garam Terhadap
Kadar Formalin Pada Ikan Asin Toman yang dilakukan di Laboratorium Komoditi
Balai Riset dan Standarisasi Industri
dan Perdagangan Pontianak pada bulan Juli 2014,
ikan asin toman yang direndam dengan air garam dengan konsentrasi 25% adalah
sebesar 78,94%.
Kecepatan
penetrasi garam kedalam tubuh ikan dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain
yaitu konsentrasi garam dan jenis garam. Semakin tinggi konsentrasi garam, maka
semakin cepat masuknya garam ke dalam tubuh ikan. Demikian pula jenis garam,
garam dapur murni (Garam yang tidak beriodium) lebih mudah diserap kedalam
tubuh ikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan
sebagai berikut :
1. Kadar formalin pada ikan asin kakap yang dilakukan dengan
konsentrasi 0% atau control adalah sebesar 28,50%
2. Kadar formalin pada ikan asin kakap yang dilakukan dengan
konsentrasi 30% adalah sebesar 22,95%
3. Kadar formalin pada ikan asin kakap yang dilakukan dengan
konsentrasi 50% adalah sebesar 18,52%
Jadi,
dalam setiap konsentrasi air garam terdapat pengaruh terhadap penurunan kadar
formalin pada ikan asin kakap. Sehingga disarankan kepada masyarakat agar
melakukan perendaman terlebih dahulu ikan asin berformalin dengan air garam,
sehingga ikan tersebut relatif lebih aman untuk di konsumsi.
DAFTAR RUJUKAN
Alamandang. 2013. https://alamandang.wordpress. Com/2013/03/06/nama-latin-untuk-ikan/.
Diakses tanggal 1 Mei 2016
Anonim. tersedia di http://id.wikipedia.org/wiki/Natrium_klorida. Di akses tanggal 21 April 2016)
Arba. 2012. Ikan
Asin Pluralisme. http://filsafat.kompasiana.com/2012/10/27/ikan-asin-pluralisme-504515.html. Di akses tanggal 2 April 2016
Arfan. Bakso. Formalin.
https://baksoarfan588.wordpress.com/health-corner/formalin/. Di akses tanggal 2 April 2016.
Cahyadi, Wisnu. 2008. Analisis
& Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. PT Bumi Aksara : Jakarta
Fatir, Darwin. 2013. http://www.antarasulsel.com/berita/48370/tim-terpadu-temukan-ikan-berformalin-di-carrefour. Di akses tanggal 24 Maret 2016
Harti, Agnes Sri. 2014. Biokimia Kesehatan. Nuha Medika : Yogyakarta
Irianto, Koes. 2013. Pencegahan
dan Penanggulangan Keracunan Bahan Kimia Berbahaya. Yrama Widya : Bandung
Joko, Mujamil. 2002. Kebutuhan
Akan Air. Andi, Yogyakarta
Mahdar. 2011. Formaldehida.
id.m.wikipedia.org/wiki/formaldehida.
Di akses tanggal 18 April 2016
Mansoor, Nizam. 2013. Tahukah
Anda Fakta Makanan dan Minuman yang Berbahaya. Dunia Sehat : Jakarta Timur
Murdiati, Agnes dan Amaliah. 2013. Panduan Penyiapan Pangan Sehat Untuk Semua. Kencana : Jakarta
Prawira, Iqbal. Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 033 Tahun 2012 Tentang Bahan
Tambahan Pangan. http://www.academia.edu/7686269/PERATURAN_MENTERI_KESEHATAN_REPUBLIK_INDONESIA_NOMOR_033_TAHUN_2012_TENTANG_BAHAN_TAMBAHAN_PANGAN. Di akses tanggal 7 April 2016
Sange, Grace dan Montolalu Litho. Metode Pengurangan Kadar Formalin Pada Ikan Cakalang (Kotsuwonus
pelamls L). Di akses tanggal 21 April 2016
Saryono. 2008. Metodologi
Penelitian Kesehatan Penuntun Praktis Bagi Pemula. Mitra Cendikia :
Jogjakarta.
Sasongkowati, Retno. 2014. Bahaya Gula, Garam, & Lemak. Indoliterasi : Yogyakarta
Sasonto, Hieronymus Budi. 1998. Ikan Asin. Kanisius : Yogyakarta
Sasonto, Teguh. 2014. Cara
Menghilangkan Formalin pada Ikan. http://www.teguhsantoso.net/2014/04/cara-menghilangkan-formalin-pada-ikan.html. Diakses tanggal 26 maret 2016
T, Rosmauli, dkk. 2014. Ini Dia Zat Berbahaya di Balik Makanan Lezat. Bhafana
Tejasari. 2005. Nilai – Gizi Pangan. Graha Ilmu : Yogyakarta.
ANALISIS
KADAR ASAM LEMAK BEBAS PADA MENTEGA YANG TIDAK BERMEREK YANG DIPERJUALBELIKAN
DI PASAR HARTACO MAKASSAR
SRI SULASTRI
ABSTRAK
Telah dilakukan
penelitian tentang Analisis Kadar Asam Lemak Bebas Pada Mentega Yang Tidak Bermerek
Yang Diperjualbelikan Di Pasar Hartaco Makassar dengan tujuan untuk
menganalisis dan mengetahui kadar asam lemak bebas pada mentega yang tidak
bermerek. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan sampel lima mentega
yang tidak bermerek yang diambil secara accidental sampling. Hasil penelitian
kadar asam lemak bebas pada mentega yang tidak bermerek yang diperjual belikan
dipasar hartaco makassar, mengasilkan rata-rata kadar asam lemak bebas yaitu
sampel A : 0,256 mmol/L, B : 0,768 mmol/L, C : 1,536 mmol/L, D : 0,256 mmol/L,
E : 0,512 mmol/L. Diharapkan kepada pengguna atau pengkonsumsi mentega yang
tidak bermerek agar memperhatikan jenis mentega yang akan digunakan.
Kata Kunci :
Mentega, Asam Lemak Bebas
PENDAHULUAN
Bahan pangan yang dikonsumsi sehari-hari seringkali tidak
kita ketahui mengandung senyawa-senyawa kimia yang berbahaya bagi kesehatan.
Memang secara kasat mata tampak sekilas tampilan dari bahan pangan tersebut
seperti tidak mengandung apa-apa ,tapi jika di teliti lebih lanjut
kebanyakan yang dikandung dari sebagian bahan pangan adalah zat-zat ataupun
senyawa-senyawa yang dapat bersifat toxin atau racun.
Kandungan asam lemak bebas suatu bahan pangan merupakan
salah satu contoh senyawa yang terkandung dalam bahan pangan yang dapat
bersifat berbahaya khususnya bagi tubuh apabila bahan pangan tersebut terlalu
sering untuk dikonsumsi. Asam lemak bebas adalah suatu asam yang dibebaskan
pada proses hidrolisis lemak.
Asam lemak bebas pada suatu bahan pangan akan terbentuk
karena adanya proses pemanasan bahan pangan pada suhu tinggi yang dapat
meningkatkan konsentrasi dari asam lemak bebas dan meningkatkan jumlah asam
lemak bebas yang terbentuk apabila proses tersebut semakin lama dilakukan
sehingga merugikan mutu dan kandungan gizi bahan pangan tersebut. Penjelasan di
atas dianggap perlu untuk dilakukannya penelitian kadar asam lemak bebas agar
kita dapat mengetahui mutu dan kandungan gizi bahan pangan yang akan di
konsumsi.
Dewasa ini orang biasanya menggunakan mentega sebagai bahan
dasar dalam pembuatan kue dan semacamnya. Mentega berasal dari lemak hewan.
Mentega yang terbuat dari lemak hewan biasanya mengandung lebih banyak lemak
jenuh/saturated fats (66%) dibanding lemak tak jenuh/unsaturated fats-nya
(34%). Lemak jenuh ini biasanya berhubungan dengan tingginya kadar kolesterol
dalam tubuh. Mentega biasanya mengandung vitamin A, D, protein dan karbohidrat.
(Elyunizar, 2014).
Rekomendasi yang dikeluarkan oleh kelompok ahli FAO/WHO
untuk masalah konsumsi lemak /minyak minimal adalah sebagai berikut : (1) bagi
sebagian besar orang dewasa, konsumsi lemak/minyak harian harus dapat
menyumbang paling tidak 15 % dari total energi/kalori yang dibutuhkan perhari,
(2) wanita dalam masa reproduksi hendaknya mengkonsumsi lemak paling tidak 20 %
dari total kalori perhari, dan (3) usaha-usaha yang terarah harus dilakukan
untuk menjamin konsumsi lemak/minyak yang cukup pada kelompok masyarakat yang
konsumsi lemaknya menyumbang kurang dari 15 % dari total kalori.
Mentega
merupakan komoditi yang diperlukan untuk meningkatkan ketengikan dan kenikmatan
makanan, banyak sekali kaitannya dengan konsumsi roti, produk yang digoreng
atau International cuisin. Dari segi gizi mentega dapat dipandang sebagai salah
satu sumber vitamin A dan D. (Elyunizar, 2014).
METODE DAN BAHAN
Jenis
penelitian ini merupakan penelitian observasi laboratorium yang bersifat
deskriptif yakni untuk mengetahui
kandungan atau kadar asam lemak bebas pada mentega yang tidak bermerek yang di
perjual belikan di pasar hartaco Makassar. Dalam
penelitian ini pengambilan sampel diambil secara accidental sampling sebanyak
5 sampel.
Penelitian
dilaksanakan di Laboratorium Analis kesehatan Universitas Indonesia Timur
Makassar, dengan menggunakan prosedur kerja sebagai berikut :
Pra Analitik
1.
Alat
e.
Kaki tiga
f.
Spritus
g.
Statif
h.
Klem
i.
Buret
|
a.
Neraca
Analitik
b.
Erlenmeyer
250 ml
c.
Batang
pengaduk
d.
Senduk
tanduk
e.
Gelas
ukur
2.
Bahan
1.
Mentega
2.
Alkohol
70 %
3.
Indikator
PP
4.
NaOH
0,1 N
Analitik
Masing-masing sampel mentega ditimbang
sebanyak 5 gram dengan menggunakan neraca analitik kemudian dimasukkan kedalam
tabung erlenmeyer yang telah diberi kode sampel. Tambahkan 50 ml alkohol 70%
kedalam masing-masing tabung yang telah terisi sampel lalu dipanaskan hingga
mendidih biarkan sampel hingga dinging,setelah ,sampel dingin tambahkan 2 ml
indikator PP dan titrasi dengan larutan 0,1 N NaOH,sambil mengamati perubahan
warna yang terjadi.
Pasca Analitik
Untuk menentukan
kadar asam lemak bebas pada mentega yang tidak bermerek yaitu dengan mengamati
terjadinya perubahan warna menjadi warna merah muda setelah di titrasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari penelitian untuk
menganalisis kadar asam lemak bebas pada
mentega yang tidak bermerek yang diperjual belikan di pasar hartaco makassar
yang dilaksanakan di Laboratorium Analis Kesehatan Universitas Indonesia Timur
Makassar memperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel
1.1 Hasil Pemeriksaan Analisis Kadar Asam Lemak Bebas Pada Mentega Yang Tidak
Bermerek Yang Diperjualbelikan Di Pasar hartaco Makassar Tahun 2015
NO
|
Kode Sampel
|
Hasil Pemeriksaan Kadar Asam Lemak Bebas
|
||
Volume
Titrasi
|
Perubahan Warna
|
Hasil
|
||
1
|
A
|
0,5 ml
|
Merah Muda
|
0,256 mmol/L
|
2
|
B
|
1,5 ml
|
Merah Muda
|
0,768 mmol/L
|
3
|
C
|
3,0 ml
|
Merah Keunguan
|
1,536 mmol/L
|
4
|
D
|
0,5 ml
|
Merah Muda
|
0,256 mmol/L
|
5
|
E
|
1,0 ml
|
Merah Muda
|
0,512 mmol/L
|
Sumber : Data
Primer, 2016
Mentega
adalah produk makanan berbentuk padat lunak yang dibuat dari lemak atau krim
susu yang dibuat dengan mengaduk krim yang didapat dari susu. Mentega adalah
emulsi air-dalam-minyak,mentega tetap padat saat didinginkan tetapi meleleh
secara konsisten pada suhu kamar/suhu ruangan. Mentega sering digunakan sebagai
olesan roti dan biskuit,sebagai perantara lemak dibeberapa resep masakan dan
juga digunakan untuk menggoreng atau sebagai pengganti minyak.
Analisis
kadar asam lemak bebas pada mentega yang tidak bermerek ini dilakukan secara kuantitatif dengan metode
titrasi NaOH.
Pada
pemeriksaan ini sampel yang digunakan adalah mentega yang tidak bermerek yang
diperjualbelikan di pasar Hartaco Makassar diambil sebanyak 5 sampel secara
accidental sampling dengan melihat perbedaan warna dan kepadatan sampel.
Berdasarkan
analisis menggunakan metode titrasi NaOH dari kelima sampel yang diteliti
diketahui kadar asam lemak bebas pada masing-masing sampel yaitu ; sampel A :
0,256 mmol/L , B : 0,768 mmol/L , C : 1,536 mmol/L , D : 0,256 mmol/L , E :
0,512 mmol/L .
Batas normal
kadar asam lemak bebas yang di anjurkan bagi tubuh yaitu sebanyak 0,30 mmol/L
sampai 1,10 mmol/L. Menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI 01-3744-1995), mentega adalah produk makanan berbentuk padat lunak yang
dibuat dari lemak atau krim susu atau campurannya, dengan atau tanpa penambahan
garam (NaCl) atau bahan lain yang diizinkan, serta minimal mengandung 80 persen
lemak susu.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan
hasil penelitian yang dilakukan di Laboratorium Analis Kesehatan Universitas
Indonesia Timur Makassar dengan menggunakan lima sampel Mentega yang tidak
bermerek yang diperjualbelikan di pasar hartako makassar menghasilkan rata-rata
kadar asam lemak bebas yaitu sampel A :
0,256 mmol/L , B : 0,768 mmol/L , C : 1,536 mmol/L , D : 0,256 mmol/L , E :
0,512 mmol/L. Disarankan kepada
pengguna atau pengkonsumsi mentega yang tidak bermerek agar memperhatikan jenis
mentega yang akan di gunakan.
DAFTAR RUJUKAN
Adriani M,
Wirjatmadi B, 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta: Penerbit Kencana Prenada
Media Group
Almatsier
sunita, 2004. Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama
http://irwanfarmasi.blogspot.com/2010/04/lipid-mempengaruhipenampilan-seseorang.html
(diakses 27 Maret 2016)
https://hermawanbtl.wordpress.com/2014/06/13/metabolismelipid(diakses
13 Januari 2016)
https://hermawanbtl.wordpress.com/2014/06/13/metabolisme-lipid/,
14Januari 2015)
Lampe Hasan,
2014. Materi Analisis Makanan Minuman Untuk Program D-III Analis Kesehatan.
Makassar
Murray RK,
Grammer Dk, Mayes PA, Rodwell VW, 2009. Biokimia Harper. Edisi 27. Jakarta :
Penerbit Buku Kedokteran, EGC
Poedjiadi A,
1994. Dasar-Dasar Biokimia. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia
Sediaoetomo
AD, 1985. Ilmu Gizi Untuk Mahasiswa dan Profesi. Jakarta : Penerbit Dian
Rakyat
Suhardi,
Haryono B, Sudarmadji S, 1997. Prosedur Analisa Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian. Yogyakarta : Penerbit Liberty
Sumantri,
Rohman Abdul, 2007. Analisis Makanan. Jogjakarta : Penerbit Gadjah Mada University
Press
Syafiq Ahmad,
Setiarini Asih, 2007. Gizi dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta : Penerbit PT RajaGrafindo Persada
Waluyo Kusno,
Irianto Kus, 2004. Gizi dan Pola Hidup Sehat. Bandung : Penerbit Yrama Widya
Wirjatmadi B,
Adriani M, 2012. Pengantar Gizi Masyarakat. Jakarta : Penerbit Kencana Prenada
Media Group.
Komentar
Posting Komentar